Puluhan ekor itik terbang lurus di atas udara. Lalu mendarat pada tempat yang disebut sebagai garis mati. Tua-muda, pria dan wanita, bersorak menyaksikannya. Anak-anak apalagi. Mereka riang bukan kepalang. Sayup-sayup, terdengar, seorang lelaki berteriak memakai toa pengeras suara.
“Lorenzo nan manang. Lorenzo nan partamo inggok di garis mati. Sia nan punyo, japuiklah hadiah ka mari (Lorenzo yang menang. Lorenze yang paling awal mendarat di garis mati. Siapa yang punya, jemputlah hadiah ke sini,” kata lelaki berkumis tipis tersebut.
Lorenzo yang dimaksud lelaki itu adalah satu dari ratusan ekor itik, peserta atraksi pacu itiak (pacu itik) di jalan raya Tungguakubang, Nagari Auakuniang, Kota Payakumbuh. Pacu itik merupakan permainan tradisional yang unik dan kaya filosofi.
Di dunia, permainan yang memperlombakan kemampuan itik terbang lurus di atas udara dan mendarat pada tempat ditentukan ini, hanya terdapat di Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Itu pun, tidak di semua nagari atau kampung.
Hanya 4 nagari yang masyarakatnya punya tradisi pacu itik. Yakni, Auakuniang dan Aietabik, Kota Payakumbuh. Kemudian, Sikabu-kabu Tanjuang Haro Padang-Panjang dan Sungaikamuyang, Kecamatan Luak, Kabupaten Limapuluh Kota.
“Di keempat nagari ini, terdapat 11 ruas jalan yang dijadikan sebagai gelanggang atau sirkuit pacu itiak,” kata Yendri Bodra Datuak Parmato Alam, Ketua Persatuan Olahraga Terbang Itik (Porti) Payakumbuh dan Limapuluh Kota.
Parmato Alam memperkirakan, tradisi pacu itik sudah ada di Luak Limopuluah (sebutan lain untuk Payakumbuh dan Limapuluh Kota), sejak ratusan tahun lalu. Tapi tradisi ini sempat mati suri. Baru dihidupkan kembali pada 1980-an oleh seorang camat bernama Amasri BA yang dijuluki warga “Camat Itik”.
Wali Kota Payakumbuh Riza Falepi dan Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan menyebut, penyelenggaraan pacu itik tak obahnya seperti balapan mobil Grandprix Formula 1. Betapa tidak, setiap musim pacu itik datang, gelanggang atau sirkuit yang digunakan pemilik itik pacuan selalu berpindah-pindah.
Bila minggu ini mereka bermain di gelanggang Tungguakubang, Auakuniang. Minggu berikutnya, pindah ke kawasan Bodi, Aietabik. Atau bisa jadi ke Sikabu-kabu Tanjuang Haro Padangpanjang yang punya sirkuit paling banyak.
Setelah itu, pindah lagi ke Rageh, Sungaikamuyang atau kembali ke Nagari Aiatabik, dengan menjajal sirkuit di Padangcubadak Sicincin, Bodi, dan Padangalai. Begitu seterusnya. Sampai 11 gelanggang yang tergabung dalam raindbond, kebagian jatah menjadi tuan rumah.
Selain adil, perlombaan yang digelar dari satu sirkuit ke sirkuit lain, membuat silaturahmi masyarakat lebih kuat. Para pemilik itik pacuan yang berdasarkan data Porti berjumlah 400-an orang, saling ‘bersaing’ mempersiapkan itik-itik yang jago terbang.
Menurut T Datuk Bandaro, sesepuh Porti di Limapuluh Kota, dalam setiap pacu itik, ada 4 nomor yang dipertandingkan. Jarak pacuan setiap nomor berbeda-beda. Mulai dari nomor 800 meter, 1.000 meter, 1.200 meter, sampai 1.600 meter atau disebut sebagai pacuan boko (bebas).
Untuk nomor 800 meter dan 1.000 meter, setiap itik yang dilempar joki ataupun pemiliknya ke atas udara, setelah terbang lurus di atas ketinggian 10-20 meter, harus mendarat di bawah garis finish yang sudah ditentukan. Pecandu pacu itiak menyebutnya sebagai garis mati.
“Kalau itik yang ikut berpacu, mendaratnya lewat dari garis mati, maka itik tersebut gugur. Untuk bisa pas mendarat di bawah garis mati, tentu dibutuhkan latihan yang berulang-ulang bagi itik tersebut,” kata Datuk Bandaro.
Sementara, untuk pacu itiak dengan nomor pertandingan 1.200 meter dan 1.600 meter, mendaratnya, tidak mestri digaris mati. Itik boleh mendarat di atas ataupun di bawah garis yang sudah ditentukan. Bebas. Sepanjang itik tersebut tetap terbang lurus.
Dari 4 nomor yang dipertandingkan, itik yang ikuti nomor 1.200 meter dan 1.600 meter atau biasa disebut jalan panjang, punya harga lebih mahal. Mencapai Rp2 Juta per ekornya. Harga itu dinilai cukup setimpal bagi pemilik itik.
Apalagi menciptakan itik pacuan bukan perkara mudah. Pemiliknya harus disiplin. Pandai menjaga kebersihan dan pola makan. “Makanan itik pacu, biasanya padi pakai telur atau padi pakai sikuai,” kata Basril Abbas dan Dodi Sastra yang pernah jadi panitia pacu itik.

Foto: Ijot Goblin
Punya Ciri, Kaya Filosofi.
Sisi lain yang menarik dari tradisi pacu itiak di Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota adalah kearifan para pemilik itik pacuan. Menurut Yendri Bodra Dt Parmato Alam, hampir seluruh pemilik itik pacuan, mengerti dengan ciri-ciri itik yang jago terbang.
Biasanya, itik jago terbang itu punya gigi berjumlah ganjil. Kalau tidak 5, bisa 7 atau 9 buah. Kemudian, itik jago terbang punya warna kaki yang sama dengan warna paruhnya. Selain itu, bisa pula dilihat dari sisiak muko (sirip di kaki depan itik).
“Kalau sisiak muko itik pecah, biasanya itik tersebut pandai terbang. Prediksi ini jarang meleset,” kata Parmatio Alam yang lahir 10 Oktober 1974 dan kini mendapat amanah sebagai Ketua DPRD Payakumbuh.
Selain ciri-ciri tadi, itik jago terbang, punya tanda pada sayap dareh-nya (dua sayap kecil di atas kedua sayap besar). Kedua sayap dareh itik pacuan, harus lurus dan menghadap ke atas langit. “Kalau sayap dareh-nya yang satu ke bawah dan satu lagi ke atas, dijamin itik itu tidak jujur. Jika lomba sering membelok,” Parmato Alam.
Ia meyakini, pacu itiak tidak sekedar hiburan yang asyik ditonton. Tapi merupakan tradisi kaya filosofi. Dari sayap itik pacuan, tersimpan nilai kejujuran. Dari penontonnya, terpancar kesederhanaan. Dari peternak itik, terkandung disiplin, ketekunan, dan kebersihan. Sehingga, tak ada itik pacu kena flu burung. [Muhammad Farives, Foto: Rendra Trisnadi | Agraria Today]