Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 22 Agustus 2018. Presiden Joko Widodo dan enam pihak lainnya digugat terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Namun landasan masalahnya adalah kasus Karhutla tahun 2015, beberapa saat ketika Jokowi baru saja menjabat sebagai Presiden.
Belajar dari Karhutla 2015, berbagai langkah koreksi penanganan Karhutla telah dilakukan secara besar-besaran oleh Presiden Jokowi. Salah satunya meminta Menteri LHK Siti Nurbaya untuk tidak gentar melawan segala bentuk kejahatan yang menjadi penyebab bencana menahun itu.
”Bu Menteri sangat serius mengawal penegakan hukum karhutla, siapapun pelakunya harus diproses hukum. Bahkan kita lakukan proses hukum pada korporasi, dan ini belum pernah tersentuh sebelumnya,” tegas Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani pada media, Rabu (22/8/2018).
Dari tahun 2015 sampai sekarang, kata Rasio, sudah ada 510 kasus pidana LHK dibawa ke pengadilan oleh penyidik Gakkum KLHK, hampir 500 ratus perusahaan yang tidak patuh telah dikenakan sanksi administratif, dan puluhan korporasi yang dinilai lalai menjaga lahan mereka digugat secara perdata.
KLHK juga telah melakukan lebih dari 200 operasi penanganan satwa illegal dan illegal logging untuk mengamankan sumberdaya negara dan menjaga kelestarian ekosistem. Termasuk didalamnya penegakan hukum untuk menjerat perusak lingkungan hidup seperti kasus Karhutla.
Sepanjang tahun 2015-2017, total putusan pengadilan yang sudah dinyatakan inkracht untuk ganti kerugian dan pemulihan (perdata), mencapai Rp17,82 Triliun. Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP) senilai Rp36,59 miliar. Angka ini menjadi yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
”KLHK mempunyai komitmen dan konsistensi yang tinggi dalam penegakan hukum, termasuk untuk mencegah dan menanggulangi karhutla,” tegas Rasio.
Pasal ‘sakti’ UU Lingkungan Hidup yang bisa menjerat pelaku pembakar lahan dan hutan pernah mendapat perlawanan dari kekuatan korporasi. APHI dan GAPKI mengajukan Judicial Review (JR) terkait Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UU Lingkungan Hidup ke Mahkamah Konstitusi, meski kemudian mencabutnya karena mendapat perlawanan yang sangat keras dari publik.
Rasio menegaskan bahwa penerapan pasal dalam UU Lingkungan Hidup, untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Judicial Review (JR) hanya upaya untuk melepas tanggung jawab, dengan mengkambing-hitamkan masyarakat atas ketidakmampuan korporasi sebagai pemegang izin, dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di kawasan konsesi mereka.
”Seharusnyalah korporasi mampu mencegah dan mengatasi meluasnya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi mereka,” tegas Rasio.
Suatu ketika saat Karhutla pernah membara, ternyata berasal dari konsesi lahan lebih dari 80 ribu Ha, bandingkan dengan luas Jakarta yang hanya sekitar 60 ribu Ha. Seharusnya sebagai pemegang izin, korporasi wajib mempunyai kemampuan dan siap untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran di konsesi mereka.
”Meluasnya kebakaran dikarenakan korporasi tidak mempunyai sarana, prasarana dan SDM yang memadai. Agar tidak terulang, kami telah diterapkan sanksi administratif, perdata dan pidana dengan tegas,” ungkap Rasio.
Penegakan hukum baik sanksi administratif, perdata dan pidana yang dilakukan KLHK, mampu memberikan efek jera dalam mendorong perusahaan memperbaiki perilaku dan kinerja pengelolaan lingkungan.
”Penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan secara konsisten dan tegas, sesuai arahan Bu Menteri sebagai upaya untuk melaksanakan perintah konstitusi dan hak-hak masyarakat,” tegas Rasio. [majalahagraria.today]