Pemerintah bersama DPR RI menargetkan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pertanahan selesai dalam waktu cepat karena RUU Pertanahan ini dinilai sangat penting untuk segera diundangkan. Sebabnya adalah RUU Pertanahan merupakan undang-undang implementasi atau operasionalisasi dari UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) atau dengan kata lain,
UUPA sebagai lex generalis dan RUU Pertanahan sebagai lex specialis.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan DPR RI Herman Khaeron mengatakan, RUU pertanahan ini merupakan penguatan dari UUPA yang menjadi acuan dalam urusan pertanahan yang harus memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

“Oleh karena itu, kami mengedepankan RUU Pertanahan ini untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, sebab bisa menekan inflasi bidang pertanahan dan ada pembaruan di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam,” ujarnya saat Diskusi Forum Legislasi bertema Tarik Ulur UU Pertanahan di Media Center MPR/DPR, Senayan, Selasa (23/07).

Herman Khaeron melanjutkan RUU Pertanahan ini merupakan inisiatif DPR yang masuk Prioritas dan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2009-2014 dan kembali menjadi prioritas pada periode 2015-2019. RUU ini diyakini bisa segera disahkan DPR RI pada periode sekarang, yang akan berakhir masa kerjanya pada September 2019.

“RUU Pertanahan ini terdiri dari 15 bab dan substansinya ada di bab pertama hingga kelima yang pembahasannya sudah diselesaikan. Kemudian, 10 bab lainnya adalah bab pendukung. Isinya tentang Reforma Agraria, Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL), sanksi administratif dan sanksi hukum, pembentukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang pertahanan, serta aturan lainnya,” tambah Herman Khaeron.

Baca juga  Dapat Sertipikat Tanah, Ini Harapan Perwakilan Masyarakat Simalungun dan Serdang Bedagai

Pelaksana Tugas Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian ATR/BPN Andi Tenrisau mengatakan jika dilihat perspektif kemakmuran rakyat, undang-undang turunannya dengan UUPA, sejak dibentuk sampai pelaksanaannya dirasakan masih ada pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dengan lebih baik.

“Jika dilihat dari aspek sosial, misalnya pengaturan pertanahan atau pengaturan agraria selama ini, kita masih melihat adanya ketimpangan struktur penguasaan pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan tanah yang belum ideal, masih ada tumpang tindih pengaturan tentang sumber daya agraria. Kemudian, sengketa konflik pertanahan juga masih belum secepatnya terselesaikan. Selain itu untuk mengikuti perkembangan teknologi, data pertanahan harus mulai terdigitalisasi dan pelayanan pertanahan berbasis online. Diharapkan RUU Pertanahan bisa menyelesaikan permasalahan ini,” ujar Andi Tenrisau. (NA/TM)