AGRARIA.TODAY – Adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) diharapkan akan memberikan terobosan dalam berbagai hal, salah satunya dalam aspek tata ruang dan pertanahan. Dalam aspek tata ruang, saat ini sudah dikenal Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Sementara itu dalam aspek pertanahan dikenalkan Bank Tanah, yang berperan sebagai land manager untuk melakukan pengelolaan tanah yang kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan tertentu.

UUCK juga memberikan terobosan dalam bidang pengadaan tanah. Memang, sebelumnya untuk pengadaan tanah memiliki payung hukum dalam pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum beserta peraturan pelaksanaannya. “Namun, adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2021 serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/Kepala BPN) Nomor 19 Tahun 2021 telah mematikan seluruh Peraturan Presiden (Perpres), seperti Perpres Nomor 71 Tahun 2012 beserta perubahannya,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan, Embun Sari saat membuka Pelatihan Penilai Pertanahan Tingkat Dasar dan Tingkat Lanjut Angkatan I Tahun 2022, secara daring, Selasa (29/03/2022).

Terdapatnya dua peraturan UUCK tersebut juga memberikan peran baru pada para penilai pertanahan. Embun Sari menyebutkan, sebelumnya penilai pertanahan hanya terlibat dalam tahap pelaksanaan, namun dalam PP Nomor 19 Tahun 2021 dan Permen ATR/Kepala BPN Nomor 19 Tahun 2021, penilai pertanahan sudah terlibat sejak tahapan perencanaan. Penilai pertanahan dapat berperan pada tahapan perencanaan, yaitu dalam penyusunan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT). “Atau dalam tahapan persiapan, yakni untuk menilai data awal, untuk perkiraan ganti kerugian, yang dibutuhkan dalam tahapan pelaksanaan,” kata Embun Sari.

Baca juga  MASKI Donasikan Masker dan Beras Melalui Gugus Tugas Covid-19 Kementerian ATR/BPN

Lebih lanjut, adanya peraturan turunan dari UUCK tersebut, diminta untuk memperhatikan ketersediaan anggaran, terutama untuk Biaya Operasional dan Biaya Pendukung (BOPP) serta untuk ganti kerugian. Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan mengungkapkan adanya ketidakpastian anggaran mengakibatkan banyaknya permasalahan yang timbul dikarenakan ada jeda dalam pembayaran ganti kerugian. “Dalam UU disebutkan maksimal 30 hari setelah validasi itu harus dibayarkan. Di beberapa tempat juga ada yang digugat karena dibayarkan lewat 30 hari dan hasilnya merupakan perbuatan melawan hukum,” kata Embun Sari.

Untuk menghindari hal tersebut, dalam penyusunan anggaran awal harus ditentukan secara pasti. “Baru kemudian dibuatkan surat pernyataan anggarannya tersedia, sehingga dapat melakukan penetapan lokasi (Penlok). Dan peran penilai pertanahan ada di sana. Perlu diingat juga, jika penilai sudah terjun di tahapan awal ini, tidak bisa berperan dalam tahapan pelaksanaan,” ungkap Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan.

Baca juga  Koordinasi Antar-K/L Jadi Kunci Percepatan Redistribusi TORA dari Pelepasan Kawasan Hutan

Embun Sari mengatakan, penilai pertanahan tidak hanya terlibat dalam kegiatan pengadaan tanah saja, tetapi juga dalam bidang agraria dan tata ruang. Namun, masalahnya jumlah penilai pertanahan sangat terbatas. Ia menyebutkan, jumlah penilai pertanahan hanya berjumlah 284 orang yang tersebar di 9 provinsi, padahal pengadaan tanah tersebar di 33 Kantor Wilayah BPN. “Jadi, adanya pelatihan Penilai Pertanahan Tingkat Dasar dan Tingkat Lanjut Angkatan I pada hari ini bertujuan untuk melahirkan para penilai pertanahan, khususnya di Indonesia Timur,” kata Embun Sari. (RH/FM)

#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia