Sudah menjadi hal biasa petani menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama penyakit. Ada perbedaan pengertian antara pestisida dan residu pestisida.

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman, pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang tumbuh, bahan lain serta organisme renik atau virus yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman.

Residu pestisida menurut para pakar adalah zat tertentu yang terkandung di dalam produk, baik sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari penggunaan pestisida. Ini mencakup senyawa turunan pestisida serta senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi dan zat pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologik. Residu pestisida pada sayuran tidak dapat dilihat  langsung atau diterka kadarnya dengan mata telanjang.

Tingkat bahaya residu pestisida pada suatu produk digambarkan dalam Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida. Ini berarti konsentrasi maksimum yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima pada produk hasil pertanian. Nilai ini dinyatakan dalam miligram residu pestisida per kilogram hasil pertanian.

Dalam penilaiannya, semakin kecil angka BMR suatu pestisida pada komoditas tertentu, menggambarkan semakin berbahanya pestisida tersebut.  Dengan demikian, apabila suatu produk atau hasil pertanian terdeteksi mengandung residu pestisida, bukan berarti produk tersebut tidak aman konsumsi, karena bisa jadi hasil deteksinya masih di bawah BMR.

Baca juga  Swasembada Bawang Putih Melawan Opini Mafia Pangan

Pemantauan residu pestisida pada komoditas hortikultura dilakukan oleh Ditjen Hortikultura, walaupun belum mewakili seluruh sentra sayuran di Indonesia. Pemantauan dilakukan terutama pada komoditas sayuran yang dicurigai banyak menggunakan pestisida, yaitu menggunakan lebih dari dua jenis pestisida yang diaplikasi petani. Contoh sayuran diambil dari beberapa sentra produksi, menjelang panen atau saat panen yang dilengkapi informasi lain melalui wawancara dengan petani terutama tentang penggunaan pestisida pada musim tanam saat ini dan musim sebelumnya.

Berdasarkan hasil analisa residu pestisida yang dilaksanakan di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian, Jakarta (BBUSKP) dan PT. Angler BioChemLab, Surabaya, menunjukkan bahwa contoh sayuran yang dianalisa tidak satu pun yang berada di atas BMR, bahkan ada yang tidak terdeteksi residu nya (data Mei 2019).

Bahan aktif yang dianalisa antara lain adalah Azoksistrobin, Difenoconazol, Dimetoat, Profenofos, Metomil, Karbosulfan, Triazofos, Propamocarb, Deltametrin, Dimetomorf, Mankozeb, Klorotalonil, Spinoteram, Lamda Sihalotrin, Tiometoksam, Mefenoksam dan Tembaga Hidroksida.

Dari hasil pemantauan tersebut, dapat disimpulkan bahwa produk sayuran dari beberapa sentra sayuran utama di Indonesia masih aman konsumsi. Walaupun hasil pemantauan tidak ada yang di atas BMR, Ditjen Hortikultura terus melakukan sosialisasi kepada petani hortikultura untuk meminimalkan penggunakan pestisida kimia.

Sri Wijayanti Yusuf Direktur Perlindungan Hortikultura, pada berbagai kesempatan selalu menekankan prinsip keamanan dalam aplikasi pestisida kimia dengan menerapkan “Enam Tepat”.

Baca juga  Pengendalian Hama Lalat Buah Pada Tanaman Salak di Kabupaten Magelang

“Gunakan pestisida dalam Enam Tepat, yaitu tepat sasaran, tepat mutu, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis dan konsentrasi serta tepat cara penggunaannya. Kementerian Pertanian, selalu mendorong petani agar menerapkan budidaya hortikultura yang ramah lingkungan, menggunakan lebih banyak pupuk organik, agensia hayati, pestisida nabati, sehingga produk yang dihasilkan lebih aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat, sehat untuk petani dan lingkungan, dan yang terpenting adalah menurunkan biaya usahatani sehingga produk lebih berdaya saing dan menambah kesejahteraan petani,” paparnya.