Pemerintah menjanjikan redistribusi lahan dalam Program Reforma Agraria. Janji dan program palsu?
MANTAN Ketua MPR Amien Rais pada 18 Maret lalu membuat gaduh republik ini. Saat menjadi pembicara dalam diskusi “Bandung Informal Meeting” di sebuah hotel di Bandung, Jawa Barat, Amien mengatakan, program pemerintahan Joko Widodo membagi-bagikan sertifikat tanah adalah kebohongan.
“Ini pengibulan. Waspada, bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektare, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?” katanya.
Pemerintah pun merespons. Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan sampai mengeluarkan “ancaman” ke Amien.
Presiden Joko Widodo dalam acara penyerahan 3.630 sertifikat di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, juga membantah tudingan Amien. “Biar kelihatan semuanya bahwa sertifikat juga diserahkan dan betul-betul sertifikat ini sudah menjadi milik Bapak-Iibu sekalian dan bukan pengibulan. Karena, ada yang ngomong, pembagian sertifikat ini pengibulan,” ujar Jokowi, 26 Maret 2018.
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi juga mengatakan, percepatan proses sertifikasi tanah dilakukkan karena setiap blusukan ke desa, ke kampung, ke provinsi, dan ke seluruh daerah, keluhan utama rakyat adalah sengketa tanah di mana-mana. “Tidak hanya di Kalimantan, di Sumatera, di Jawa, di NTT, di NTB, Maluku, di Papua semuanya ada,” katanya.
Diakui Jokowi pula, memang ada ketimpangan dalam kepemilikan tanah. “Juga harus ngerti bahwa distribusi itu bukan saya yang melakukan. Itu yang saya enggak mau dituding-tuding. Kita bagi saja enggak,” tuturnya.
Harus diakui, Amien Rais tidak salah dan Presiden Jokowi ternyata memang belum melakukan distribusi tanah. Ia belum membagi-bagikan tanah. Program Reforma Agraria yang dijalankan hanya mempercepat proses sertifikasi tanah.
Sebelumnya, pada awal Maret 2018, Nahdalatul Ulama (NU) sebenarnya sudah mengungkapkan soal tersebut. NU meminta pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla segera melaksanakan program pembaruan agaria untuk merombak struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang tidak adil.
“Fungsi tanah harus dikembalikan sebagai hak dasar warga negara, bukan sekadar properti individu yang mengikuti hukum pasar,” kata Ketua Umum Pengurus Besar NU, K.H. Said Aqil Siroj dalam acara “Muhasabah 2017 dan Resolusi 2018 PBNU” di Jakarta.
Diingatkan Said Aqil, fokus Reforma Agraria bukan sekadar sertifikasi tanah, tetapi redistribusi lahan rakyat dan petani. “Pembatasan penguasaan dan kepemilikan tanah, hutan, perkebunan harus dilakukan agar kekayaan tidak bergulir di antara segelintir pemilik uang,” tutur Aqil.
Pada pekan pertama Juni 2017, di Tasikmalaya, Jawa Barat, Presiden Jokowi sendiri pernah mengatakan, redistribusi lahan kepada rakyat sebagai cara meningkatkan produktivitas dan perekonomian. “Kita akan membangun produktivitas,” kata Jokowi seperti dikutip okezone.com.
Targetnya adalah 21,1 juta hektare, yang rencananya akan disalurkan ke rakyat, terutama kaum tani. Hasilnya akan mulai terlihat pada Juli 2017. Demikian janji Presiden Jokowi.
Namun, Jokowi juga mengingatkan, Reforma Agraria bukan sekadar bagi-bagi lahan. “Bukan seperti itu,” kata Jokowi. Lahan yang telah diberikan kepada rakyat harus dikelola secara produktif. “Jangan ditelantarkan, apalagi untuk dijual.”
Toh, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) punya pandangan berbeda. Seperti dikutip dari laman resminya, AGRA menilai Program Reforma Agraria yang seperti itu sebagai gagasan palsu. Soal program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), umpamanya, untuk penetapan tanah sebagai obyek Reforma Agraria justru kaum tani harus mengajukan terlebih dulu legalisasi tanahnya. Setelah itu ditetapkan menjadi tanah milik negara. Kemudian barulah ada proses redistribusi. Dengan begitu, menurut AGRA, kedudukan lahan menjadi milik negara dan tidak boleh dijual, disewakan, dan atau diwariskan.
Sasaran dan luas proyek Reforma Agraria juga palsu. Karena, menurut AGRA lagi, program ini justru akan melestarikan dan meningkatkan perampasan serta monopoli atas tanah secara massif. Apalagi, kenyataannya, program itu sama sekali tidak menyentuh lahan milik tuan tanah yang diwakili perusahaan swasta dan negara. Padahal, dalam kenyataannya, kedua pihak ini memonopoli tanah yang luasnya mencapai puluhan ribu hingga jutaan hektare, untuk perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan lain-lain.
Front Perjuangan Rakyat punya data: perkebunan sawit milik perusahaan besar pada tahun 2016 mengantongi izin lahan 29 juta hektare. Adapun di kawasan hutan terdapat 531 konsesi hutan skala besar di atas lahan sekitar 36 juta hektare.
Pada sektor pertambangan ada sekitar 8.000 izin pertambangan di atas lahan sekitar 2,5 juta hektare hingga Juni 2012. Secara nasional, kepemilikan atau monopoli tanah itu dinikmati 16 grup perusahaan besar, termasuk pemerintah.
Sementara itu, laporan tahunan World Wildlife Fund (WWF) pada tahun 2016 memperlihatkan, laju penyusutan kawasan hutan di Kalimantan semakin meningkat setiap tahun. Dari sekitar 74 juta hektare hutan Kalimantan hanya tersisa 71% pada tahun 2005. Jumlah itu semakin menyusut pada tahun 2015, hanya tinggal 55%.
“Di daerah hutan tertutup, fragmentasi tersebar luas dengan deforestasi terus meningkat. Dalam skenario business-as-usual atau bisnis seperti biasanya, pada tahun 2020 diperkirakan Kalimantan bisa kehilangan 75 persen hutannya,” demikian laporan WWF yang dirilis pada awal Juni 2017 itu. [
Didang Pradjasasmita, Purwadi.