Program Reforma Agraria belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Namun, ada angin segar dari Kantor Staf Presiden.

“JALANNYA Revolusi Kita”. Demikian Presiden Soekarno atau Bung Karno memberi judul pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1960. Lewat pidatonya tersebut, Bung Karno antara lain mengatakan, “Tanah tidak boleh menjadi alat pengisapan, apalagi pengisapan dari modal asing terhadap rakyat Indonesia!”

Di tahun 1960 itu terbit pula Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Banyak yang menilai, penetapan undang-undang ini merupakan tonggak paling penting dalam sejarah agraria Indonesia. Pasalnya, pada masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan, struktur agraria yang warisan feodalisme dan kolonialisme menjadi masalah utama yang membelenggu kaum tani di republik ini.

Tak mengherankan jika Presiden Soekarno lewat keputusan presiden kemudian menetapkan tanggal diterbitkannya UUPA sebagai Hari Tani Nasional. Dalam berbagai kesempatan, Bung Karno juga kerap mengatakan, reforma agraria yang menjadi inti dari UUPA sebagai satu bagian mutlak dari revolusi Indonesia.

Lahirnya UUPA dilatabelakangi oleh lima prinsip dasar, yakni pembaruan hukum agraria kolonial menuju hukum agraria nasional; untuk menjamin kepastian hukum; untuk menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia; untuk mengakhiri pengisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah, dan; sebagai wujud implementasi atas Pasal 33 UUD 1945. Seperti diketahui, Pasal 33 UUD 1945 memberi kewenangan bagi negara untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Toh, harus diakui, tujuan mulia yang terkandung UUPA belum sepenuhnya dapat diwujudkan—bahkan sampai sekarang, setelah hampir 50 tahun diterbitkan undang-undang tersebut. Di masa pemerintahan Presiden Soeharto malah diterbitkan tiga undang-undang yang bertentangan dengan semangat UUPA, yakni Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Pertambangan—yang semuanya diterbitkan pada tahun 1967, pada masa awal Presiden Soeharto menggantikan Presiden Soekarno.

Sejarah mencatat, adanya tiga undang-undang itu membuat konflik yang berhubungan dengan agraria semakin sering terjadi dan meluas. Masalahnya, dengan berbekal ketiga undang-undang tersebut, Presiden Soeharto melakukan pembangunan yang massif dan memberikan hak penguasaan lahan secara besar-besaran kepada korporasi dan segelintir orang.

Buruh Tani sedang menanam padi. (Foto dok. Istimewa)

Banyak rakyat yang menjadi korban, karena lahan pertaniannya sering menjadi sasaran “perampasan” (land grabbing). Alasan mulianya: diperlukan pengadaan lahan demi kepentingan umum.

Kemudian reformasi bergulir di negara ini. Presiden telah berganti berkali-kali sejak Soeharto turun dari takhta kepresidennya, 21 Mei 1998. Namun, konflik terkait agraria ternyata tak mereda, sampai sekarang.

Tahun 2014, Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia. Reforma Agraria masuk ke dalam 9 Program Prioritas pemerintahannya, yang dikenal sebagai Nawacita. Program Reforma Agraria ada di nomor 5 dalam Nawacita.

Baca juga  Menduniakan Cabai Melalui Festival Cabai

Lagi-lagi harus diakui, Program Reforma Agraria sampai beberapa tahun kemudian belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Tahun 2017 lalu, Presiden Jokowi dalam Rapat Kerja Nasional Peringatan Hari Lingkungan Hidup sampai berbicara cukup keras, yang terutama ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar. Rapat itu diadakan di Manggala Wanabakti, Jakarta, 2 Agustus 2017.

“Jangan kita berpikir rutinitas, monoton, tidak pernah membuat terobosan. Sekian tahun ini, mohon maaf, pengelolaan hutan kita berada di posisi tidak ada pembaruan,” ujar Jokowi.

Dalam pandangan Presiden Jokowi, Kementerian LHK hanya terorientasi ke proyek-proyek semata. “Jangan lagi ada program atau rencana yang orientasinya proyek. Hentikan itu. Kita blak-blakan saja. Kalau saya buka satu-satu, ramai semua,” ungkap Jokowi.

Padahal, sebelumnya, tahun 2016, Presiden Jokowi melalui Kepala Staf Presiden telah menerbitkan surat keputusan untuk membentuk kepanitiaan penggagas reforma agraria. Dalam surat keputusan itu ada lima agenda pokok yang akan dilaksanakan dalam rentang waktu Juni 2016 sampai Juli 2017, yakni penyelesaian konflik agraria; memperjelas obyek sasaran reforma agraria; pemberdayaan masyarakat; merancang peraturan, dan; membentuk lembaga reforma agraria di tingkat daerah.

Tahun 2016 pula, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Peraturan tersebut sudah mengarah ke pemberian perhutanan sosial kepada rakyat.

Bukan hanya itu. Kementerian yang dipimpin Siti juga sudah menerbitkan Peta Indikatif Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

Reforma Agraria yang diprogramkan pemerintahan Presiden Jokowi memang melalui TORA, yakni membagikan 9 juta hektare tanah kepada rakyat. Di seluruh Indonesia saat ini tersedia 126 juta bidang tanah, namun baru 46 juta bidang yang bersertifikat.

Gagasan utama Program Reforma Agraria adalah upaya pengentasan kemiskinan, memperkecil ketimpangan, dan upaya mengurangi sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Karena, semua itu dinilai menjadi akar dari munculnya lingkaran kemiskinan.

Sungguhpun begitu, sepanjang tahun 2017 saja, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terjadi 659 konflik agraria, dengan luasan lahan mencapai 520.491,87 hektare. Jumlah konflik agraria ini meningkat 50% dibandingkan tahun 2016. Konflik-konflik pada tahun 2017 melibatkan sedikitnya 652.738 kepala keluarga.

Kepala Staf Presiden (KSP) pun kemudian diganti pada 17 Januari 2018 lalu. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Moeldoko menempati posisi tersebut, menggantikan Teten Masduki.

Program Reforma Agraria memang termasuk Program Prioritas dalam Sistem Pemantauan KSP. Artinya, KSP memantau dan mengendalikan Program Reforma Agraria, termasuk mengurai hambatan dan sumbatannya, agar pencapaiannya sesuai dengan target dan arahan Presiden Joko Widodo.

Terkait masih banyaknya konflik agraria, Moeldoko mengatakan, penyebabnya adalah ketimpangan penguasaan lahan dan tumpang tindih kepemilikan. “Penyelesaiannya tentu harus dengan sinergi dan kolaborasi kementerian dengan lembaga terkait. Cara ini harus terintegrasi, agar tidak hanya melakukan satu pendekatan atau penyelesaian tunggal,” kata Moeldoko kepada redaksi Majalah Agraria di kantornya, di Bina Graha, Jakarta, 16 Mei 2018 lalu.

Baca juga  Presiden Jokowi Lantik Gubernur dan Wakil Gubernur NTB

Menurut dia, wujud komitmen Presiden Jokowi atas penyelesaian konflik agraria menjadi bagian dari Reforma Agraria. “Untuk itulah di KSP dibentuk tim khusus untuk mengintegrasikan penyelesaian konflik ke kementerian teknis terkait. Kami juga berupaya agar Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial dapat menjadi bagian dari resolusi konflik,” ujar Lulusan Terbaik Akademi ABRI Tahun 1981 itu.

Moeldoko pun menegaskan, komitmen Presiden Joko Widodo dan KSP atas Program Prioritas Agraria belum berubah sejak 2014 sampai dengan sekarang. “Sejak awal tahun 2015, Reforma Agraria adalah salah satu Program Prioritas dalam Sistem Pemantauan KSP. Artinya: dipantau, dikendalikan, termasuk melakukan debottlenecking agar delivery-nya sesuai dengan target dan arahan Presiden Jokowi. Peran dan fungsi inilah yang kemudian memperkuat Tim Gugus Tugas Reforma Agraria yang dibentuk oleh Menko Perekonomian, Pak Darmin Nasution, pada bulan Mei 2017 lalu,” tutur Moeldoko.

Buruh Tani sedang membuka lahan tanam.

KSP, lanjutnya, berkolaborasi dengan Kemenko Perekonomian dalam hal melakukan koordinasi ke kementerian teknis terkait. Kementerian yang mendapat tugas melaksanakan Program Reforma Agraria adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; Kementerian LHK; Kementerian Desa; Kementerian Pertanian, dan; Kementerian BUMN.

Sementara itu, dalam Tim Gugus Tugas Reforma Agraria dibentuk tiga kelompok kerja atau pokja, yakni Pokja Pelepasan Kawasan Hutan dan Perhutanan Sosial; Pokja Legalisasi dan Redistribusi TORA, dan; Pokja Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Kemenko Perekonomian dan KSP memastikan deiivery tugas dari ketiga fungsi pokja ini.

“Kami juga harus memastikan berjalannya rancangan kegiatan dan program kegiatan Reforma Agraria,” ujarnya.

Akankah program ini benar-benar dapat diwujudkan sesuai dengan rencana dan targetnya? Semoga saja begitu. Rakyat menyimpan harapan besar untuk itu.

Didang Pradjasasmita, Purwadi, Kristian Ginting