YOGYAKARTA – Pagi masihlah sangat muda, ketika dua bus memasuki Bangsal Kepatihan di kawasan kantor Gubernur Yogyakarta. Setelah terparkir rapi, puluhan kepala keluarga dengan pakaian seragam biru kelabu beserta istri dan anak-anaknya keluar dari bus.
Mata mereka bersinar, menyorotkan harapan untuk masa depan lebih baik. Ada sedikit kegalauan, tapi mungkin karena mereka akan meninggalkan kampung halaman. Takut rasa kangen akan menyerang.
Raut muka seperti itu juga tampak di wajah Triawan (44). Satu dari 72 calon transmigran asal Dusun Mandingan, Desa Ringinharjo, Bantul, Yogyakarta ini ikut diberangkatkan menuju Desa Tanjung Buka, Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Bulungan, Kalimantan Utara.
Bersama istrinya, ia bertekad mengubah kehidupan menjadi lebih sejahtera. Hidupnya di Bantul, Yogyakarta menurutnya sudah nyaman. Dengan usaha laundry yang sudah ia jalani selama lima tahun dan usaha makanan sang istri sudah cukup untuk memenuhi kehidupannya. Tapi, dia memiliki mimpi dan cita-cita untuk anaknya.
“Saya usaha laundry sudah lima tahunan tapi seperti tidak berkembang, untuk sekadar hidup sehari-sehari tidak masalah, tapi saya lihat anak semakin besar. Tidak apa-apa saya susah-susah yang penting anak bahagia. Kadang saya mikir di Bantul hidup sudah enak, enak ya enak, santai. Istri juga buka pesanan makanan. Tapi di sini istri gak bisa peternakan juga (istrinya sarjana peternakan), saya gak ambil psikologi profesi jadi gak bisa praktik juga. Ya sudah kita transmigrasi, istilahnya di modalin pemerintah, asal kita bisa gerak,” kisah Triawan seorang calon transmigran pemilik gelar Sarjana Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Harapan itu, menetapkan hatinya untuk memutuskan berangkat trasmigrasi dengan istri, dan neninggalkan anak (usia 7 & 3 tahun) di Bantul supaya bisa konsentrasi cari nafkah di sana dan anak mendapat pendidikan lebih baik.
“Intinya untuk mengubah kehidupan keluarga saya lebih sejahtera. Untuk masalah emosional seperti kangen iya, berpisah dengan anak itu berat, tapi saya punya tekad untuk lebih baik lagi, jadi saya bertransmigrasi,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Dia bercerita, keputusannya menjadi transmigran beraeal karena mendapat informasi dari saudaranya, kemudian ia mencari informasi sendiri dari internet dan mulai tertarik.
“Lihat di sekitar saya sudah stagnan untuk mengembangkan diri siapa tahu di sana bisa berkembang lebih baik. Untuk hidup di sini mungkin bisa, tapi untuk berkembang agak mentok,” terangnya sambil tertawa.
Dengan tekad kuat dari hati juga dukungan keluarga, akhirnya ia daftar ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul. Pada 2017, dirinya sempat mencoba daftar namun karena daerah tujuan yang ia cari (Bulungan) belum buka, akhirnya ia urung, tahun 2018 ia daftar lagi dan mendapat tempat yang diinginkan.
Setelah di sana ia dan teman-teman transmigran lainnya akan mendapat rumah, tanah 2 hektare yang terdiri dari lahan 1 & 2, juga mendapatkan jaminan hidup selama lima tahun pada masa transisi di tanah kehidupan baru.
Setelah sampai di tempat tujuan transmigrasi, dia berencana untuk fokus pada pertanian. Ia pun sudah menyiapkan dengan pembekalan ilmu dengan belajar dari internet juga buku, karena basic pendidikannya bukan pertanian, dan calon transmigran mendapat pelatihan sebelum berangkat.
“Kami dapat pelatihan dua kali di kabupaten dan satu kali di provinsi. Sebagai basic cukup lumayan untuk kita memulai. Semua ada prakteknya seperti cara menanam, mengolah tanah, pembibitan, vaksin, dan menetaskan telur.
Selain itu, dapat pelatihan juga dari Balai Besar Latihan Masyarakat (BBLM) Yogyakarta, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, di sana pelatihannya sudah lebih fokus lagi. “Praktiknya difokuskan, dilatih untuk memanfaatkan lahan basah, karena di Bulungan memang banyak lahan basah,” terangnya.
Walau dirinya tidak meniliki basic pendidikan pertanian, tapi menurutnya kemampuan bisa diasah, ia pun merasa tertolong dengan istrinya yang memiliki basic pendidikan Sarjana Peternakan. Kondisi lahan di Bulungan cocok untuk pertanian, peternakan, dan perkebunan.
“Kalau anak nanti masalah pendidikan dasar dan mengah bisa di sana, tapi untuk kuliah balik ke Jogja lagi. Anak lah yang utama. Kalau saya mikir sendiri, di sini sudah dapat warisan sudahlah, kalau saya mikirin egois diri saya saja ya sudah enak di sini. Tapi mikirin anak,” pungkasnya.
Untuk pertama kalinya pemberangkatan calon transmigran dilaksanakan dengan menggunakan pesawat. Bus melaju dari Bangsal Kepatihan menuju Bandara Adisucipto Yogyakarta, untuk selanjutnya akan menerbangkan mereka ke Kalimantan Utara. Seiring harapan yang mereka bawa dan tekad yang kuat untuk merubah nasib.
Secara keseluruhan, jumlah transmigran yang diberangkatkan terdiri dari 5 KK (17 jiwa) asal Kota Yogyakarta, 9 KK (32 jiwa) asal Kabupaten Sleman, dan 7 KK (23 jiwa) asal Kabupaten Bantul.