Memasuki tahun keempat pemerintahan, Joko Widodo – Jusuf Kalla membanggakan program reforma agrarianya berupa sertifikasi tanah dengan jumlah sekitar 6,3 juta sertifikat meliputi 1,95 juta hektare lahan. Juga mendistribusikan bekas aset hak guna usaha dan tanah telantar seluas sekitar 262 ribu hektare dan pelepasan kawasan hutan sekitar 750 ribu hektare sebagai tanah objek reforma agraria (TORA).
Akan tetapi, program reforma agraria pemerintahan Jokowi – Kalla itu justru menuai pro dan kontra. Seperti yang diungkapkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), beberapa kalangan justru menilai apa yang dilakukan pemerintahan terutama bagi-bagi sertifikat itu tidak tepat dan bukan bagian dari reforma agraria. Secara ideologis, demikian BPN, reforma agraria disiapkan dan dijalankan sebagai pelaksanaan dari amanat Undang Undang Dasar 1945. Menurut Dirjen Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang Muhammad Ikhsan, reforma agraria merupakan salah satu program nasional pemerintahan Jokowi – Kalla dalam upaya membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup sebagaimana terkandung dalam Nawacita.
Program yang terkandung dalam Nawacita itu diklaim berdasarkan Undang Undang Pokok Agraria 1960 dengan tiga tujuan mulia yakni menata ulang struktur agraria yang timpang jadi berkeadilan; menyelesaikan konflik agraria; dan menyejahterakan rakyat setelah reforma agraria dilaksanakan. “Reforma agraria sama dengan aset hukum dan akses hukum, penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan. Melalui pendaftaran aset, dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Itulah reforma agraria,” kata Ikhsan dalam keterangan resminya yang dikutip laman resmi BPN pada akhir Maret lalu . Akan tetapi, di sinilah masalahnya.
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), misalnya, justru memandang program reforma agraria Jokowi – Kalla sama sekali tidak mengurangi monopoli tanah. Pemerintah, demikian AGRA, tidak sejengkal pun membagikan tanah kepada kaum tani yang tidak bertanah. Sementara, tanah perhutanan tidak dibagikan dengan memberikan hak penuh kepada rakyat, tapi dijalankan dengan skema tumpang sari yang memungkinkan terjadinya sistem bagi hasil yang tidak adil.
Pelaksanaan perhutanan sosial di beberapa tempat justru melahirkan konflik horizontal antar-rakyat seperti di Sigi, Sulawesi Tengah. Selain itu, lahan hasil redistribusi intinya hanya menyasar seluas 400 ribu hektare tanah bekas HGU dan tanah telantar. Itu sebabnya, AGRA meragukan program reforma agraria Jokowi sejak dirilis kali pertama pada 2016. Lantas mengapa AGRA bisa berpendapat demikian?
Ketua Umum AGRA, Rahmat bercerita, Jokowi ketika itu mengumumkan program percepatan pelaksanaan program strategis nasional reforma agraria. Kebijakan tersebut kemudian dimasukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada 2017, khusus untuk prioritas nasional reforma agraria di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dan Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Selanjutnya pada Juni 2016, dibentuk Tim Kerja Reforma Agraria lewat Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang telah menyusun persiapan dan pelaksanaan reforma agraria dan berkoordinasi dengan sejumlah kementerian serta lembaga. Adapun Strategi Nasional (Stranas) Pelaksanaan Reforma Agraria 2016 hingga 2019 telah disosialisasikan di sejumlah provinsi seperti Jambi, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah.
Berdasarkan Stranas, AGRA, kata Rahmat, mencermati target pencapaian reforma agraria Jokowi melalui dua skema. Pertama, target pencapaian sembilan juta hektare lahan yang terdiri atas legalisasi seluas 4,5 juta hektare dan 4,5 juta hektare redistribusi lahan. Perincian skema ini meliputi 4,1 juta hektare pelepasan kawasan hutan yang berkaitan dengan program transmigrasi; 3,9 juta hektare merupakan tanah masyarakat yang akan disertifikasi BPN; satu juta hektare tanah hak guna usaha (HGU), tanah transmigrasi yang belum tersertifikasi serta tanah telantar.
Lalu skema kedua, target pencapaian 12,7 juta hektare untuk alokasi Perhutanan Sosial seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. Dari kedua skema tersebut, AGRAnmenyimpulkan, inti dari kebijakan Jokowi adalah legalisasi aset atau sertifikasi yang berorientasi untuk memperluas pasar tanah (land market) dan kredit perbankan.
“Pastinya begitu. Dalam berbagai kesempatan, saya sampaikan berbagai konflik sebagian besar karena tidak ada sertifikat atau bukti hak kepemilikan. Dengan sertifikasi akan mengurangi situasi konflik, pasti itu,”
– MOELDOKO –
“Dalam jangka panjang, program ini justru membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi hanya memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan perbankan dengan menyita aset kaum tani. Proyek ini terhubung dengan skema Bank Dunia sebelumnya melalui Land Administration Project (LAP),” kata Rahmat.
Soal reforma agraria, Kantor Staf Presiden (KSP) memastikan pemerintahan Jokowi-Kalla berkomitmen melaksanakannya karena bagian dari Nawacita. Dan program reforma agraria disebut sebagai salah satu cara meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Kepala KSP Moeldoko mengatakan, jumlah sertifikasi kini telah mencapai 6,4 juta sertifikat dan akan mencapai tujuh juta sertifikat pada tahun ini. Sertifikasi, demikian Moeldoko, memang diberikan kepada pemilik tanah yang relatif tidak punya sejarah konflik. Hanya selama ini mereka kesulitan mengurus bukti kepemilikan tanah karena berbagai hal antara lain ketidakmampuan untuk membayar pengurusannya. Negara pun demikian. Dulu hanya mampu mengeluarkan 500 ribu sertifikat per tahun, tapi kini melonjak menjadi lima juta sertifikat per tahun. Kendati belum punya data pasti, Moeldoko yakin sertifikasi itu mengurangi tingkat konflik agraria selama ini.
“Pastinya begitu. Dalam berbagai kesempatan, saya sampaikan berbagai konflik sebagian besar karena tidak ada sertifikat atau bukti hak kepemilikan. Dengan sertifikasi akan mengurangi situasi konflik, pasti itu,” kata Moeldoko ketika ditemui di kantornya pada pertengahan Mei lalu.
Sengketa Meningkat Berbeda dengan Moeldoko, AGRA justru meyakini program sertifikasi sama sekali tidak mengurangi sengketa agraria. Data yang dikumpulkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kasus konflik agraria membuktikan hal tersebut. Kasus konflik agraria pada 2015 mencapai 252 kasus melonjak menjadi 450 kasus pada 2016 walau pada saat bersamaan pemerintah terus meningkatkan pembagian sertifikat lahan kepada masyarakat.
Konflik terbaru pada akhir April 2018 menewaskan seorang warga Sumba Barat bernama Poroduka, 40 tahun. Ia tewas diterjang peluru polisi lantaran mempertahankan lahannya di pesisir Marosi, Desa Patiala Bawah, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Cerita serupa juga dialami warga Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah pada pertengahan Maret lalu.
Dari berkas pengaduan sebanyak 5.387, tipologi aduan pelanggaran HAM yang dilaporkan masyarakat terkait dengan kinerja polisi.
Ironisnya, warga Luwuk terdiri atas 1.400 orang itu justru memiliki sertifikat,namun Pengadilan Negeri Luwuk justru memerintahkan untuk mengeksekusi lahan warga dengan melibatkan kepolisian. Karena lagi-lagi melibatkan aparat kepolisian ujungnya warga mengalami tindakan represifitas dan terluka. Itu sebabnya tidak heran ketika laporan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) pada 2017 paling banyak terkait dengan kepolisian. Dari berkas pengaduan sebanyak 5.387, tipologi aduan pelanggaran HAM yang dilaporkan masyarakat terkait dengan kinerja polisi.
Berkaitan dengan tindakan represifitas polisi di Luwuk, berujung pada pencopotan Kapolres Banggai Heru Pramukarno. Ia dinilai keliru dalam mengambil keputusan. Sesungguhnya pelibatan aparat kepolisian dalam penanganan kasus agraria berdasarkan pada perjanjian kerja sama antara Kepolisian RI dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN pada Maret tahun. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menginginkan Polri memberantas mafia tanah sehingga seluruh tanah di Indonesia tersertifikasi pada 2025. Menanggapi kerja sama itu, Kapolri Tito Karnavian mengatakan, pihaknya akan mengkaji persoalan tumpang tindih kepemilikan tanah dan dualisme sertifikat. Juga mendorong upaya mekanisme pencegahan konflik sehingga itu jangan sampai terjadi. Penindakan adalah upaya terakhir saja, kata Tito.(KRISTIAN GINTING)