Beijing – Sejumlah kepala desa, penggiat desa dan pendamping desa yang study banding ke Negeri China pada Jumat (29/3) mengunjungi Freshwater Fisheries Research Centre (FFRC) atau pusat penelitian perikanan air tawar di kota Wuxi, provinsi Jiangsu, China.

FFRC dibawah naungan dari Chinese Academy of Fishery Sciences (CAFS) arau Akademi Ilmu Perikanan China yang merupakan lembaga pendidikan dibawah Ministry of Agriculture and Rural Affairs atau Kementerian Pertanian dan Perdesaan Tiongkok

Kepala Pusat FFRC, Xu Pao memberikan kuliah singkat kepada sejumlah kepala desa, penggiat desa dan pendamping desa terkait perikanan di Tiongkok. Menurutnya, Pada masa sebelum adanya Reformasi Keterbukaan yakni sebelum 1978, perikanan di Tiongkok hanya bergantung pada hasil tangkap.

“Namun pasca Reformasi Keterbukaan, kebijakan perikanan mengutamakan pada pemeliharaan ekosistem perikanan untuk menjamin kualitas ikan,” katanya.

Alhasil, kata Xu Pao, Tiongkok pada 2017 telah menghasilkan sedikitnya 64 juta ton produk perikanan yang meliputi antara lain ikan air tawar sejumlah 31 juta ton dan ikan laut sejumlah 33 juta ton.

“Penghasilan pembudidaya ikan per kapita adalah 46 kg pertahun. Ini meningkat 12 kali lipat dibanding pada tahun 1949 dimana perkapita hanya 4 kg pertahun,” katanya.

Disarankan, bahwa jika industri perikanan di Indonesia ingin berkembang, maka sebaiknya dibuat kelompok pembudidaya yang fokus pada produk prioritas, berinovasi untuk membuat wisata perikanan, dan menyelaraskan dukungan antar pemerintah terkait.

Baca juga  Presiden Joko Widodo Terima Kunjungan Kenegaraan Presiden Republik Namibia

Sebelumnya, pada Kamis (28/3), Kepala Desa, Pendamping Desa, dan Penggiat Desa mengunjungi Desa Huaxi, Kecamatan Huashi, Provinsi Jiangsu, Tiongkok. Peserta benchmarking study ini mempelajari bagaimana desa ini mampu bangkit dari kemiskinan dan menjadi desa terkaya di Tiongkok.

Desa Huaxi merupakan desa yang memiliki kualitas perkotaan dengan karakteristik perdesaan. Desa ini memiliki fasilitas mewah layaknya di perkotaan, seperti gedung pencakar langit dengan tinggi 328m, hotel dan villa-villa mewah, fasilitas umum modern yang lengkap, dan taxi helicopter untuk mengitari desa.

Desa ini memiliki 970 keluarga, setiap keluarga diberikan satu villa dengan hak pakai untuk dikelola atau disewakan. Rata-rata gaji tahunan masyarakat desa adalah 122.600 yuan atau sekitar Rp 237,2 juta.

Di Desa Huaxi, peserta studi banding mengunjungi Huaxi Urban Agriculture Demonstration Park, yang merupakan pusat litbang e-commerce di Desa Huaxi. Pemerintah setempat juga menjadikan produk unggulan desa tersebut yakni beras, buah-buahan dan ikan sebagai komoditi untuk mengembangkan wisata.

Selain itu, peserta juga berkesempatan mengunjungi pabrik pengolahan beras organik modern di Desa Huaxi. Peserta studi banding ini mempelajari bagaimana beras organik diproses secara modern hingga menjadi produk jadi dengan sistem komputerisasi.

Perlu diketahui, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memberangkatkan sejumlah kepala desa, penggiat desa dan pendamping desa untuk mengikuti studi banding ke negara Korea dan China pada jumat (22/3).

Baca juga  Lembaga Adat Kampung Ratenggaro berdayakan warga agar sadar wisata

Salah satu tujuan pengiriman itu agar desa-desa lebih inovatif dalam melaksanakan kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Hal tersebut sejalan dengan salah satu program yang diusung Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yakni Program Inovasi Desa.

Studi banding ke luar negeri diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan memunculkan inovasi dalam pengelolaan dan pembangunan desa, serta para peserta dapat membangun jaringan, menambah pengetahuan dan membuka pasar antar kepala desa dengan mitra luar negeri. Diharapkan setelah kunjungan itu, para peserta bisa menerapkan didesanya masing-masing apa yang apa yang mereka liat di luar negeri.