Sejak disahkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria pada tanggal 24 September 2018, peraturan ini mulai menjadi payung hukum dan dasar utama bagi pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengadakan Sosialisasi Perpres itu ke beberapa daerah di Indonesia.
Sosialisasi sebelumnya telah dilaksanakan di beberapa daerah seperti Bogor, Pamekasan, Banyuwangi, Semarang dan daerah lainnya dengan mengundang para stakeholder dan masyarakat. Kali ini, bertempat di Hotel Revive, Jumat (5/4), Lampung menjadi tempat selanjutnya yang dipilih untuk menjadi tuan rumah pelaksanaan sosialisasi ini, kegiatan ini penting dilakukan untuk bisa saling berdiskusi dan menyamakan persepsi antar pihak terkait pelaksanaan Reforma Agraria di daerah.
Saat memberikan sambutan, Wakil Bupati Lampung Utara, Budi Utomo mengatakan di Lampung banyak sekali terjadi sengketa dan konflik pertanahan, “Salah satunya di Lampung Utara terkait masalah tanah ulayat, jadi masyarakat menganggap tanah ulayat itu tanah adat padahal berbeda, hal itu memicu konflik dan pemerintah daerah masih belum bisa mengatasi. Maka itu, setelah mendapat sosialisasi dari Kementerian ATR/BPN pemerintah daerah perlu menyosialisasikannya lagi ke masyarakat dengan membawa Pepres ini, camat dan kepala desa sebagai ujung tombak, harus melakukannya dengan baik karena paling dekat dengan masyarakat,” ujarnya.
Senada Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan, Bahrunsyah mengatakan bahwa Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak bisa bekerja sendiri dalam pelaksanaan Reforma Agraria. Itu sebabnya, ia menegaskan perlunya kerja sama antar stakeholder guna kelancaran program ini. “Kami mohon kepada seluruh pemerintah daerah di Provinsi Lampung untuk mendukung sepenuhnya tugas kantor pertanahan BPN, baik dengan kegiatan Reforma Agraria yang merupakan tanggung jawab kita bersama,” ujarnya.
Direktur Landreform, Arif Pasha mengatakan adanya Reforma Agraria ini karena kebutuhan yang sangat mendesak bagi pertanahan di Indonesia karena konflik dan sengketa pertanahan makin besar. Setiap daerah perlu membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) secara berjenjang mulai tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.
“Di lampung sudah banyak terjadi tragedi berdarah terkait sengketa konflik pertanahan, jika tidak diselesaikan, lampung menjadi daerah yang tidak diminati investor. Diharapkan sengketa pertanahan tidak mengganggu program pemerintah yang lain, begitu juga dalam hal politik, pertahanan, keamanan, keuangan dan lainnya,” ujar Arif Pasha.
Dalam praktiknya, terdapat beberapa persoalan pokok dalam melaksanakan Reforma Agraria, yaitu ketimpangan penguasaan tanah negara, tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Oleh karena itu, Pemerintah perlu melakukan Reforma Agraria untuk mengurangi kemiskinan, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria, meningkatkan ketahanan pangan dan energi masyarakat, dan memberikan kepastian hukum atas hak tanah yang dimiliki.
Dalam kesempatan ini Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Aslan Noor menyampaikan Perpres nomor 86 tahun 2018 ini melibatkan banyak orang, selain Pemerintah dibutuhkan peran serta masyarakat. Diperlukan komitmen besar serta kesamaan sudut pandang dari para pemangku kepentingan agar tujuan reforma agraria untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dapat terlaksana. (NA/NR/NP)