Perizinan satu pintu secara elektronik (Online Single Submission/OSS) adalah salah satu upaya reformasi perizinan dengan menjadikan birokrasi perizinan di tingkat pusat dan daerah lebih mudah, cepat dan terintegrasi.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik telah menetapkan bahwa salah satu izin yang dikeluarkan lewat skema OSS adalah izin lokasi. Izin ini dapat langsung diberikan kepada investor untuk lokasi-lokasi yang telah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Baru-baru ini telah terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 24 Tahun 2018 tentang Pengecualian Kewajiban Menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang Berlokasi di Daerah Kabupaten/Kota yang telah memiliki Rencana Detail Tata Ruang.
Oleh karena itu, kepastian kualitas rencana tata ruang baik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi sangat penting.
Di samping itu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah (Provinsi/Kab/Kota) juga merupakan acuan spasial Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) (Nasional) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) (Provinsi/Kab/Kota) yang secara bersama digunakan untuk memayungi pelaksanaan pembangunan sektor.
Saat ini Direktorat Jenderal Tata Ruang terus berupaya melakukan berbagai terobosan terkait peningkatan kualitas rencana tata ruang. Kualitas rencana tata ruang salah satunya dapat diukur dari tingkat implementatif sebuah rencana.
Agar implementatif, rencana tata ruang yang disusun harus merupakan konsensus yang perlu dijaga dan dikawal bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan.
“Memastikan semua pihak yang terlibat menandatangani dokumen persetujuan substansi rencana tata ruang merupakan hal mendasar penentu kualitas tata ruang. Perlu diingat kapasitas dan daya dukung ruang kita terbatas, sehingga pengaturan ruang yang efektif dapat menjaga keberlanjutan pembangunan di masa masa yang akan datang,” ujar Abdul Kamarzuki, Dirjen Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Rencana Tata Ruang (ATR/BPN).
Rencana tata ruang memang sedari awal didesain untuk tidak gampang direvisi. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang tegas menyatakan bahwa peninjauan kembali rencana tata ruang hanya dapat dilakukan satu kali dalam lima tahun.
Aturan ini sengaja dibuat untuk memastikan agar investor dapat lebih yakin akan kelangsungan investasinya dan rencana pembangunan masing-masing sektor dapat berjalan lebih baik. Ke depannya konflik ruang dapat semakin diminimalkan.
“Upaya membangun konsensus antar semua pihak memang memerlukan waktu, namun ke depannya rencana tata ruang yang dihasilkan akan lebih implementatif dan tidak memerlukan banyak revisi”, lanjutnya.
Terobosan lain yang terus digiatkan Ditjen Tata Ruang adalah melalui digitalisasi rencana tata ruang. Digitalisasi ini merupakan bentuk penyebarluasan informasi kepada masyarakat.
Masyarakat memiliki peran penting dalam setiap rencana tata ruang, baik dalam tataran penyusunan maupun dalam implementasinya. Peran masyarakat ini merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Saat ini telah diluncurkan Rencana Tata Ruang Online GIS Taru (www.gistaru.atrbpn.go.id/rtronline) sebagai upaya yang menyediakan informasi seluruh rencana tata ruang yang telah dilegalisasi.
Adapun untuk produk rencana tata ruang yang masih dalam proses penyusunan, ke depannya akan segera diluncurkan platform penampung aspirasi dan harapan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah terkait rencana tata ruang. Dengan berbagai terobosan tersebut, peningkatan kualitas tata ruang dharapkan dapat segera tercapai untuk mewujudkan ruang Indonesia yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. [Agraria Today]