Makassar – Salah satu persoalan mendasar mengenai pertanahan di Indonesia adalah mengenai lemahnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan masyarakat adat atas tanah.
Permasalahan hak masyarakat adat atas tanah sebenarnya telah dibahas oleh pendahulu penyusun UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pada waktu itu, penyusun UUPA menggantikan konsepsi domein verklaring yang diterapkan oleh penguasa kolonial Belanda dengan konsepsi Hak Menguasai Negara yang diambil dari konsepsi hak ulayat pada masyarakat hukum adat. Keberadaan hak ulayat pun diakui di dalam UUPA (Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3).
Seiring dengan perkembangan kebutuhan operasional adanya penyesuaian regulasi yang dibuat pada tahun 1999 melalui Peraturan Menteri (Permen) Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang kemudian dalam perjalananannya diubah menjadi Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 9 Tahun 2015 dan diubah kembali melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.
Dua peraturan terakhir ini kemudian mendapat tanggapan dari berbagai kalangan akademisi. Untuk itu maka Kementerian ATR/BPN melaksanakan Sosialisasi tentang Tanah Adat Ulayat di Daerah yang bertujuan selain untuk mensosialisasikan peraturan yang saat ini berjalan juga untuk mendapatkan masukan dari berbagai sektor diantaranya akademisi, tokoh adat di daerah termasuk aparatur pemerintah daerah yang membidangi pengelolaan tanah adat.
Demikian disampaikan Ir. Bahrunsyah, S.H., M.Si. Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan saat memberikan sambutan pada acara pembukaan Sosialisasi Tanah Adat Ulayat di Daerah, yang dilaksanakan di Hotel Gammara, Makassar, Selasa (2/10).
“Diharapkan dapat menyempurnakan peraturan yang ada menjadi lebih pluralis, karena saat ini kita juga sedang menyusun RUU Pertanahan dan RUU Masyarakat Hukum Adat” ujarnya.
Dari hasil sosialisasi ini terdapat tujuh rumusan yaitu:
- Terkait dengan definisi mengenai tanah adat, tanah ulayat dan masyarakat hukum adat harus jelas dan tegas;
- Peraturan antara Tanah Ulayat, Tanah Adat atas Masyarakat Hukum Adat dan konsep hak komunal harus diatur dalam peraturan tersendiri;
- Konsep tanah ulayat, tanah adat atas Masyarakat Hukum Adat bersifat publik, privat yang berlandaskan magis dan religius yang mengedepankan teritorial, sedangkan konsep hak komunal bersifat privat yang berlandaskan sifat individualistik yang terikat pada kelompok masyarakat;
- Definisi Hak Ulayat agar disamakan di setiap pengaturannya dalam Rancangan Undang-Undang, baik dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Rancangan Undang-Undang Hak Masyarakat Hukum Adat;
- Dalam merumuskan pengaturan agar berhati-hati agar tidak menambah masalah baru, karena kemungkinan konflik yang akan terjadi ketika tanah adat/ulayat overlapping dengan Hak Guna Usaha;
- Dalam Rancangan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pengaturan dan Pelaksanaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat perlu ditambahkan pada konsiderans mengingat, peraturan: (a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
- Jika diperlukan pengaturan mengenai Hak Komunal perlu adanya pengaturan terkait sharing antara individu dalam kelompok (pembagian tanah) seperti halnya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun agar tidak menimbulkan potensi konflik dalam kelompok masyarakat.
Hadir sebagai narasumber pada kegiatan ini yaitu Prof. Maria S.W. Soemardjono, S.H., MCL., MPA. (Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada), Dr. Aslan Noor, S.H., M.H., SP.1 (Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian ATR/BPN), Uke Muhammad Hussein, S.Si, MPP (Direktur Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS), Dr. Dadang Suhendi (Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Selatan), Dr. Oloan Sitorus,SH., MS (Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Maluku) dan Drs. Pelopor, M.Eng.Sc (Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Tengah). Kegiatan ini diikuti oleh Kepala Daerah Kabupaten/Kota, Dinas terkait dan jajaran Kantor Wilayah, serta beberapa Kepala Kantor Pertanahan dari tiga Provinsi yaitu Sulawesi Selatan, Maluku dan Kalimatan Tengah.