Kementerian Pertanian (Kementan) menampik tudingan fluktuasi bulanan Nilai Tukar Petani (NTP) berpengaruh pada kesejahteraan petani. NTP mesti dilihat dalam kurun jangka panjang karena pangan itu musiman.
“Sangat keliru jika menyoroti data NTP untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Sebab NTP bukankah satu-satunya alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani secara langsung, namun lebih pada tren kemampuan atau daya beli petani,” demikian dikemukakan Direktur Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Bambang Sugiharto di Jakarta, Senin ( 1/4).
Selain NTP, jelas Bambang, untuk melihat tingkat kesejahteraan perlu juga melihat tingkat inflasi yang dirilis BPS. Di tahun 2014 tercatat inflasi bahan pangan sebesar 10,57 persen dan 2017 turun menjadi 1,57 persen.
“Ini capaian yang luar biasa, baru kali ini terjadi penurunan inflasi bahan pangan yang sangat tajam. Di tahun 2018 pun inflasi pun turun 3 persen. Artinya selama 4 tahun lebih petani merasa gembira, sejahtera,” terangnya.
Menurut Bambang, capaian sektor pertanian selama 4,5 pemerintahan Jokowi-JK sangat dirasakan petani dari pertumbuhan ekonomi nasional yang positif. Yakni total ekspor komoditas pertanian naik 29 persen nilainya mencapai Rp 1.300 triliun. Kemudian Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dari tahun 2014 yang hanya Rp 900 triliun naik menjadi Rp 1.462 triliun di tahun 2018 serta kemajuan sektor pertanian Indonesia masuk peringkat 5 dunia dari 224 negara.
“Capaian ekspor dan PDB ini pastinya dirasakan petani manfaatknya. Uang tidak mengalir ke luar, tapi dinikmati petani,” ujarnya.
Terkait NTP, Bambang menegaskan agar tidak membacanya per bulan tetapi harus per tahun. Kalau dibaca bulanan ya pasti berfluktuasi antar bulan karena fenomena musiman” ungkapnya
“Agar NTP menggambarkan tingkat kesejahteraan, harus dibaca tahunan karena komoditas pertanian adalah tanaman semusim,” tegasnya.
“Lagian Nilai Tukar Petani (NTP) Maret 2019, ini kondisi lebih bagus dari Maret tahun sebelumnya, Data BPS menunjukkan NTP Pertanian Maret 2019 sebesar 102,73 lebih tinggi 0,77 persen dibandingkan Maret 2018 sebesar 101,94,” sambungnya.
Lebih lanjut Bambang mengatakan data BPS harga gabah Maret 2019 di petani Rp 4.604 per kg dan di penggilingan Rp 4.706 per kg cukup menguntungkan petani. NTP Tanaman Pangan pada Maret 2019 sebesar 105,31 lebih tinggi 3,39 persen dibandingkan bulan yang sama tahun 2018 sebesar 101,86.
“Angka NTP di atas 100 berarti pendapatan petani lebih tinggi dari pada pengeluarannya atau surplus, dan bila dilihat dari trend menunjukkan kondisi NTP Pertanian dan NTP Tanaman Pangan semakin membaik,” ujarnya.
Bambang menambahkan hal yang sama untuk Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) Tanaman Pangan pada Maret 2019 sebesar 111,23 naik 2,01 persen dibandingkan bulan Maret 2018 sebesar 109,04. Angka ini juga menunjukkan suplus dan trend yang membaik.
Analisis NTP jangka panjang menunjukkan semakin menguat, angka BPS berupa NTP Pertanian 2018 sebesar 102,46 naik 0,42 persen dibandingkan tahun 2014 sebesar 102,03. Untuk NTP Tanaman Pangan 2018 sebesar 102,92 naik 4,12 persen dibandingkan tahun 2014 sebesar 98,88, ujarnya
“Begitu pun untuk NTUP 2014 hingga 2018 juga meningkat bagus, naik 5,39 persen,” tandas Bambang.
Hal senada diungkapkan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Ujang Paman Ismail, bahwa salah besar jika menjadikan NTP apalagi NTP bulanan untuk menyimpulkan tingkat kesejahteraan petani. Banyak variabel yang menjadi indikator peningkatan kesejahteraan petani.
“Misal, harus dilihat juga jumlah penduduk miskin di perdesaan yang terus menurun. Pada Maret 2015 masih sekitar 17,94 juta jiwa dan pada bulan yang sama tahun 2016 dan 2017 turun menjadi 17,67 juta jiwa dan 17,09 juta jiwa,” katanya.
“Jadi, program pertanian era saat ini tidak hanya sebatas meningkatkan produksi, tapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan petani di seluruh Indonesia sebagai pelaku utama dalam sektor pertanian,” pintanya.