YOGYAKARTA – Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengubah paradigma pembangunan pedesaan di Indonesia. Desa kini memiliki kewenangan untuk membangun daerahnya berdasarkan kebutuhan masing-masing. Pendekatan tersebut menarik perhatian 22 negara di kawasan Asia Pasifik yang tergabung dalam Forum Petani Asia Pasifik (Farmers Forum Asia Pacific).
Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Anwar Sanusi mengatakan, desa di era saat ini memiliki hak asal usul atau rekognisi. Mereka juga memiliki kewenangan untuk mengatur tata kelola desa yang telah diatur dalam UU Desa. Kebijakan dana desa pun menjadi stimulan bagi pembangunan di pedesaan.
“Peran pemerintah desa kini sangat sentral dalam mengatur dan mengurus desa. Desa menjadi arena bagi masyarakat desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan,” tuturnya saat memberika sambutan pada pertemuan tahunan International Fund for Agricultural Development (IFAD) Kawasan Asia Pasifik di Yogyakarta, Sabtu (20/10).
Anwar menambahkan, capaian dana desa sejak 2015 hingga 2018 ini masuk dalam kategori memuaskan. Pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan desa, jalan usaha tani, saluran irigasi, posyandu, dan lainnya memberi dampak langsung pada masyarakat. Jumlah desa sangat tertinggal pun menurun.
“Kontribusi dana desa dalam tujuan pembangunan yang berkelanjutan tampak signifikan. Data mencatat, adanya penurunan angka kemiskinan yang cukup signifikan di pedesaan sampai sekitar 7,2 persen serta menurunkan angka kelaparan dari 12,54 persen di 2015 menjadi 7,5 persen pada tahun 2017,” ungkap Anwar.
Dia juga menjelaskan strategi pemerintah untuk mendukung percepatan pembangunan desa, yakni dengan menetapkan empat program prioritas. Empat program tersebut, sambungnya, yaitu Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades), membangun embung desa, mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan membangun Sarana Olahraga Desa (Raga Desa).
“Prukades itu untuk membuat kluster ekonomi di desa-desa. Prukades memberi insentif supaya desa fokus mengembangkan produk unggulannya demi terciptanya pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan masyarakat, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat desa,” lanjutnya.
Delegasi dari organisasi ANAPROFIKO Timor Leste, Ilidio, mengaku terkesan dengan penyampaian dari Kemendes PDTT. Menurutnya, fokus pada pengembangan pertanian dan para petani adalah dasar kehidupan yang sudah seharusnya dilakukan oleh negara.
“Kebijakan pembangunan pedesaan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa mereka sadar terhadap pentingnya sumber daya petani dan masyarakat pedesaan bagi kehidupan dan kualitas manusia dan bangsa. Ini memberikan inspirasi untuk lebih mengorganisasi petani di Timor Leste. Saat ini hanya ada ANAPROFIKO sebagai satu-satunya organisasi masyarakat yang bergerak untuk sektor pertanian,” katanya.
Ilidio menambahkan, forum ini memotivasi dirinya untuk melakukan lobi yang lebih efektif kepada pemerintah Timor Leste agar lebih berpihak kepada petani. Dirinya meyakini tidak akan ada kehidupan jika tidak ada petani.
Turut hadir dalam pertemuan ini yaitu Direktur IFAD Regional Asia Pasifik, Nigel Brett, yang didampingi oleh IFAD-Country representative dari masing-masing negara di Asia-Pasifik. Para perwakilan tersebut diantaranya berasal dari Vietnam, Kamboja, Srilangka, Pakistan, Fiji dan Timor Leste.
Sebelumnya, pertemuan forum petani global ini sudah dilangsungkan sebanyak lima kali mulai tahun 2008, 2010, 2012, 2014 dan 2016. Pertemuan tersebut bertujuan untuk belajar dari pengalaman antar petani di kawasan Asia Pasifik dan dinamika keterlibatan organisasi petani dengan IFAD di kawasan Asia Pasifik baik di tingkat regional dan negara.