AGRARIA.TODAY – Ombudsman RI ikut melakukan pengumpulan data terkait konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Berdasarkan temuan mereka sejak 23 September 2023 lalu, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam belum mengantongi sertipikat pengelolaan lahan (HPL) di Pulau Rempang.
“Sertifikat HPL belum diterbitkan karena lahan di sana belum clean and clear. Badan pertanahan baru bersedia mengeluarkan sertipikat bila di area tersebut sudah tidak ada penghuni lagi,” ungkap anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro seperti dikutip dari YouTube Ombudsman pada Jumat (29/9/2023).
Ia menduga itu yang menjadi penyebab BP Batam begitu tergesa-gesa dan mendesak warga di kampung-kampung tua di Pulau Rempang agar bersedia direlokasi. Selain itu, keputusan untuk pemberian HPL telah terbit dari Menteri ATR pada 31 Maret 2023 lalu.
“Pada 31 Maret keluar pemberian SK HPL. SK tersebut memiliki batas waktu yaitu 30 September 2023,” tutur dia.
Ia menyebut Surat Keputusan (SK) itu bisa saja diperpanjang dengan persetujuan dari Menteri ATR. Bila BP Batam tidak kembali mengajukan perpanjangan, maka izin HPL tersebut gugur. Maka, area tersebut tidak bisa digunakan untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), Rempang Eco City.
“Artinya, sertipikat HPL tidak akan pernah terbit,” katanya lagi.
Johanes juga menemukan bahwa dasar hukum untuk proyek Rempang Eco City baru dirilis pada tahun 2023 yakni melalui Permenko Bidang Perekonomian nomor 7 tahun 2023.
Apakah warga bersedia untuk digeser ke area lain di Pulau Rempang seperti klaim Menteri Investasi Bahlil Lahadalia?
- Warga di Pulau Rempang tetap menolak direlokasi ke titik lain
Lebih lanjut, Johanes menjelaskan meski sudah diberikan ganti rugi oleh BP Batam, warga tetap menolak untuk direlokasi. Sejumlah warga di kampung yang disurvei oleh Ombudsman merasa sudah bermukim di sana secara turun temurun. Bahkan, sampai ada yang enam hingga tujuh generasi di situ.
“Mereka juga merasa tidak ada jaminan bahwa bila bersedia dipindahkan, mereka akan mendapatkan sumber mata pencarian yang sama,” kata dia.
Di sisi lain, pemerintah belum melakukan sosialisasi kepada warga di Pulau Rempang secara massif. Termasuk rencana pembangunan Rempang Eco City dan apa yang terjadi kemudian.
“Warga juga menilai belum ada kepastian, baru sekedar janji-janji. Secara obyektif, tempat untuk memindahkan mereka belum siap atau tersedia,” tutur dia lagi.
- Ombudsman temukan belum ada dasar hukum bagi anggaran yang dialokasikan untuk ganti rugi
Hal lain yang ditemukan oleh Ombudsman yaitu belum ada dasar hukum bagi anggaran yang bakal dialokasikan sebagai dana ganti rugi. Informasi itu, kata Johanes disampaikan sendiri oleh BP Batam.
“Berdasarkan keterangan dari BP Batam, terkait pemberian kompensasi berupa rumah pengganti, uang tunggu hingga hunian sementara, tidak serta merta uangnya ada. Meski harus ada dasar hukumnya juga. Ini yang kami dengar terakhir dengan perjumpaan dengan BP Batam,” kata Johanes.
BP Batam, tutur dia, sudah melakukan rapat terbatas dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mencarikan dasar hukum. Salah satu alternatif dasar hukum yang digunakan yakni Peraturan Presiden.
Sebelumnya, Menteri Bahlil menjanjikan bagi warga yang bersedia digeser, maka akan mendapatkan hak tanah seluas 500 meter persegi dengan status Sertipikat Hak Milik (SHM). Lalu, masing-masing kepala keluarga (KK) akan mendapatkan rumah tipe 45.
“Apabila ada rumah (yang dihuni sebelumnya) lebih dari tipe 45 atau harganya lebih dari Rp120 juta, maka akan dinilai oleh KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik). Nilainya berapa, itu yang akan diberikan,” ujar Bahlil di Istana Kepresidenan, Senin kemarin.
Kompensasi lainnya yaitu pemerintah memberikan uang tunggu dan uang kontrak rumah selama tempat tinggal baru sedang dibangun.
“Uang tunggu nominalnya Rp1,2 juta per orang dan uang kontrak Rp1,2 juta per KK. Jadi kalau per KK ada empat orang, maka dia mendapatkan uang tunggu Rp4,8 juta dan uang kontrak rumah Rp1,2 juta. Jadi, total yang diterima uang Rp6 juta,” tuturnya.
Bahlil menambahkan bila ada warga yang memiliki tanaman atau keramba, maka juga bakal dihitung dan diberikan ganti rugi. Ia juga menyebut area baru untuk warga yang digusur yakni Tanjung Banon, yang bakal dijadikan kampung percontohan.
“Jadi, infrastruktur seperti jalan akan kami tata betul, lalu layanan kesehatan seperti puskesmas, sekolah, air bersih, kami akan buat sebaik-baiknya. Termasuk, kami juga akan buat pelabuhan perikanan,” katanya.
- Ombudsman desak Pemkot dan BP Batam sampaikan langsung warga tidak akan direlokasi
Sementara, berdasarkan temuan awal itu, Ombudsman memberikan empat saran korektif bagi pemerintah. Pertama, Pemkot dan BP Batam melakukan dialog serta musyawarah bersama masyarakat dan tokoh-tokoh adat secara persuasif.
“Jangan mengedepankan seragam atau simbol aparat keamanan yang akan mempengaruhi psikologis warga,” kata Johanes.
Saran korektif kedua, Pemkot Batam terlibat aktif dalam pemulihan stabilitas ekonomi wargaa dengan menjamin adanya pasokan pangan ke warung-warung milik warga. “Saran korektif ketiga, Polres Barelang membebaskan atau memberikan penangguhan penahanan bagi warga yang masih ditahan sesuai ketentuan,” tutur dia.
Ia mengatakan sudah menyampaikan saran itu secara langsung kepada Kapolres Barelang. “Ombudsman meminta agar warga dari kampung tua yang kemarin ikut berdemonstrasi, tidak menggunakan senjata tajam, tak terkait narkoba, betul-betul memperjuangkan untuk mempertahankan kampungnya, agar segera dibebaskan atau penahanannya ditangguhkan. Kapolres berkomitmen membebaskan. Kita lihat saja praktiknya bagaimana,” ujarnya lagi.
Saran korektif keempat, Pemkot dan BP Batam menegaskan secara langsung kepada warga baik lisan atau tertulis, agar tidak ada relokasi dalam waktu dekat. “Ini penting bagi kami untuk dikondisikan agar masyarakat tenang dulu. Artinya, tidak memaksakan diri bahkan menggunakan pendekatan kekuasaan,” tutur dia.