Realitas Pasca Kemerdekaan[1]
Indonesia akan memasuki usia kemerdekaan ke 73 Tahun pada 17 Agustus 2018 mendatang, sebuah perjalanan menuju kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak pergantian rezim orde lama pada tahun1998 Indonesia telah berkembang masuk ke dalam jajaran negara demokrasi yang banyak menginspirasi negara-negara lain di asia maupun dunia, terutama negara-negara lain yang masih baru beranjak meninggalkan masa keemasan rezin otoritarian.
Dalam perjalanan 73 Tahun kemerdekaan Indonesia telah mengalami pasang surut sistem politik dan kepartaian dari sistem pemilihan legistatif dan pimpinan ekseketif tidak langsung menjadi pemilihan langsung, dan sistem partai terbatas menjadi banyak partai. Diikuti sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralisasi atau otonomi daerah. Konsekuensinya juga terhadap sistem keuangan (fiskal), dimana ada distribusi wajib yang harus diberikan kepada daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Salah satu Provinsi di ujung barat Indonesia bahkan memproleh otonomi luas yang hampir menyamai sebuah negara bagian, dan satu provinsi di bagian timur Indonesia lepas dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gejolak yang bernuansa tuntutan memisahkan diri juga masih menjadi pekerjaan rumah Negara di Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).
Di luar berbagai dinamika kebangsaan tersebut, Fenomena terbesar yang mesti digagas kembali untuk diperkuat oleh bangsa ini yaitu bagaimana mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya tanpa membedakan golongan, ras, suku dan agama di Indonesia. Karena Ketidakadilan yang semakin terpelihara dalam jangka panjang sejak kemerdekaan, telah menuai berbagai gejolak konflik di berbagai tempat. Beberapa sisi keadilan yang mesti jadi pekerjaan rumah bangsa ini dan dibebankan kepada pemimpin bangsa dan negara antara lain di bidang hukum, penguasaan sumber daya alam dan agraria sebagai sumber ekonomi, dan penghargaan terhadap nilai-nilai luhur dan ideologi pancasila yang semakin luntur digilas moderenisasi yang tidak terkendali.
Pada sisi hukum, negara ini berangkat dari sistem peninggalan kolonial yang 350 Tahun memberlakukan sistem hukum yang diskriminasi melalui penggolongan atas pemberlakuan sistem hukum eropa untuk golangan eropa dan yang bangsa menundukkan diri, serta perbelakuan hukum adat bagi golongan timur asing dan pribumi. Indonesia bangkit dengan semangat penyatuan (unifikasi) sistem hukum pasca kemerdekaan dengan memberlakukan sebagian besar hukum bangsa eropa dan sebagian kecil mengadopsi hukum adat. Hukum eropa aromanya masih kuat dalam hukum Pidana dan hukum perdata baik hukum materil maupun formil. Sedangkan sistem hukum adat yang sudah berkembang luas dalam sendi-sendi kehidupan mayoritas suku bangsa di Indonesia mendapat porsi pengakuan yang semakin lama semakin kecil dalam perjalanan bangsa pasca kemerdekaan. Kalaupun sudah terang diadopsi seperti dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa hukum adat merupakan salah satu sumber hukum agaria Indonesia, namun dalam praktik dan berbagai regulasi turunannya semakin melupakan esensi keberagaman hukum adat yang dimaksud dalam UUPA tersebut. Sehingga kekisruhan dalam pemaknaan sistem pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan terhadap sumber daya alam dan agraria seringkali memicu sengketa atau konflik berkepanjangan di pedesaan di berbagai pelosok negeri ini.
Ketidakadilan dalam sisi hukum secara langsung telah membawa bangsa ini dalam jurang kesenjangan antara kelompok mapan dan kelompok tidak mampu, antara penikmat pembangunan dan terpinggirkan oleh pembangunan, antara si miskin dan si kaya, antara penguasa modal/sumber daya alam dan kelompok rentan pedesaan/perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini semua berangkat dari ketidakadilan hukum yang menjelma menjadi pelindung yang bagi kaum kuat modal. Penguasa modal bahkan dalam praktiknya mampu ikut campur dalam berbagai putusan penegak hukum dan menentukan jabatan legislatif dan eksekutif. Sehingga konflik kepentingan, konflik nilai dan konflik struktural yang muncul di sektor sumber daya alam, maupun pada konflik sosial, termasuk konflik bernuansa sara lainnya, seringkali berakar pada buruknya isi maupun penerapan regulasi dan penerapan hukum itu sendiri.
Hukum yang ada saat ini bukan saja menyebabkan kesenjangan dan konflik semakin melambung, tetapi juga telah menyuburkan budaya penggunaan kekuatan berupa pengaruh dan kekuasaan sehingga benturan berupa kekerasan fisik dan mental/psikis telah banya mewarnai kehidupan sosial di berbagai pelosok negeri ini. Penerapan hukum sering kali hanya tajam ke kelompok lemah namun tumpul ke golongan mapan, kaya, pemilik modal, dan penguasa. Lalu kemana makna kemerdekaan yang sudah 73 tahun diraih bangsa ini, jika keadilan masih jauh panggang dari api.
Musyawarah dan Negara Kesepakatan
Memperbaiki kompleknya persoalan hukum, ekonomi, sosial dan budaya yang sudah mengakar dan menyebar luas di semua sektor kehidupan untuk Indonesia yang sangat luas memang bukan pekerjaan rumah yang mudah. Harus ada kesadaran bersama akan cita-cita kesepakatan bernegara yang telah dirumuskan para pahlawan bangsa terdahulu. Pancasila sebagai ideologi dan filosopi berbangsa dan bernegara haruslah dijadikan pijakan untuk membangun kesadaran dan membangun kesepakatan untuk perbaikan ke depan.
Kesepakatan akan ketuhanan yang termaktub dalam Pancasila haruslah dikembangkan dalam kerangka saling hormat-menghormati baik dalam ranah publik maupun pribadi. Dalam ranah publik kehidupan berbangsa dan bernegara negara hendaknya bekeja pada ranah pengaturan untuk mendukung terjadinya harmoni dan toleransi antar umat beragama, sehingga tidak terjadi konflik.
Kesepakatan tentang kemanusiaan dan keadilan merupakan cerminan dari hakikat manusia sebagai mahluk ciptaan yang maha kuasa yang harus diadopsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara harus memberikan perlindungan dan pengayoman untuk mendapatkan persamaan dalam berbagai lini kehidupan. Tidak boleh ada lagi kekhususan untuk golongan tertentu untuk memproleh kesempatan berkembang dalam cipta, rasa, karsa, niat dan keinginan. Begitu pula kesepakatan akan Persatuan yang meletakan makna bahwa perbedaan atau keberagaman suku, agama, ras dan golongan harus hidup dalam kerangka bersama, dan tidak boleh ada keistimewaan unsuk sebagian golongan dan pengabaian untuk golongan lain. Sehingga negara harus menjamin pemerataan di berbagai lini untuk semua golongan, jika tidak maka benturan di lapangan akan terjadi atas dasar identitas golongan. Indonesia telah mengalami kepedihan dengan kejadian gesekan antar golongan, baik karena pengaruhi luar maupun karena ketidakadilan yang dialami di lapangan.
Kesepakatan akan Permusyawaratan/Perwakilan mengandung makna bahwa suatu kebijaksaan haruslah dicapai melalui pengutamaan budaya musyawarah untuk menghasilkan keputusan atau kesepakatan bersama. Jadi suatu keputusan bukanlah atas dasar paksaan, apalagi hanya untuk memberikan keistimewaan yang memenangkan satu kelompok atau golongan atau orang tertentu saja. Dalam perkembangan praktik bernegara dewasa ini, pengutamaan musyawarah sudah semakin luntur dan putusan lebih ditentukan oleh faktor siapa yang dominan dari segi kekuatan, kekayaan/modal, pengaruh hingga dukungan massa. Begitu juga dalam penyelesaian konflik, pengarustamaan musyawarah seringkali terlampaui oleh dominasi tafsir dan keputusan penegak hukum, sehingga keadilan hanya dirasakan bagi yang menang, namun duka bagi yang dikalahkan. Karenanya negara mesti menyadari untuk kembali ke ideologi pancasila dengan memperkuat kelembagaan negara dan mendukung serta melindungi berkembanya lembaga-lembaga pengembang budaya musyawarah ini di tengah-tengah masyarakat, termasuk implementasi konsep dan praktik dialog, negosiasi/perundingan dan mediasi yang saat ini mulai berkembang. Bentuk dukungan dan perlindungan paling nyata yang harus dilakukan negara adalah memperbaharui regulasi yang tidak bersahabat dengan budaya musyawarah dan memperkuat kelembagaan-kelembagaan pengembang musyawarah yang telah dan akan berkembang.
Niscaya dengan kembali kepada kesepakatan yang telah digariskan dalam ideologi dan filosopi negara pancasila maka kue kemerdekaan ini dapat dinikmati secara merata oleh rakyat Indonesia dari pedesaan hingga perkotaan.
[1] Penulis: Ahmad Zazali, S.H., Praktisi Mediator, Advokat dan Spesialis Resolusi Konflik. Saat ini memimpin Firma Hukum dan Resolusi Konflik (AZ Law Office & Conflik Resolution Center), dan Direktur Eksekutif IMN (Impartial Mediator Network), Lembaga Mediator yang khusus mengembangkan layanan dan konsep Mediasi Konflik Sumber Daya Alam dan Agraria.