Pak Presiden melantik Doni Monardo sebagai orang yang mengerti menangani lingkungan dan bencana-bencana bumi. Tanahair kita yang permai dan makmur ini—yang dimajaskan dengan bagus oleh Doni Monardo sebagai ‘emas hijau’ untuk hasil bumi dalam pulau dan ‘emas biru’ untuk hasil laut di luar pulau—diingatkan juga dengan cogahnya bencana alam: banjir, tsunami, lindu, gunung meletus. Jadi, untuk itu semua harus ada seseorang yang ulung menangani bahaya-bahaya dahsyat tersebut. Kalakian, teguhlah hati Pak Presiden memilih seorang jenderal bintang tiga yang masih aktif memimpin tugas kebangsaan itu.
Bencana alam paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, dan malapetaka itu melanda seluruh dunia—dicatat pemerintah Belanda yang kala itu, 1883, masih menjajah Indonesia—adalah malapetaka meletusnya Gunung Krakatau. Orang yang kembali ke rahmatullah mencapai 36.500 jiwa. Dua hari lebih seluruh dunia, dari Asia, Eropa, sampai Amerika diselimuti gelap. Lantas selama satu tahun pun sinar matahari tampak redup dihalangi debunya.
Setelah itu di abad ke-20 dan abad ke-21 orang di dunia Barat menggilas-gilas peristiwa itu, dibikin film tentangnya. Yang pertama dari Amerika, pada 1969, film yang kata anak TK, judulnya terbalik. Yaitu Krakatoa: East Of Java. Terbalik, sebab Krakatau bukan di ‘east’ melainkan di ‘west’. Yang bertanggung jawab adalah sutradaranya, Bernard Kowalski. Aktornya Maximillian Schell pada 1961 memenangkan Oscar untuk film Judgement at Nuremberg.
Yang baru-baru ini melintas di depan banyak mata penonton adalah Krakatoa: The Last Days, pertama kali diputar di Inggris pada 7 Mai 2006. Film ini disutradarai Sam Miller berdasarkan cerita yang antaralain ditulis oleh Colin Heber-Perry. Pelakon-pelakonnya Kevin McMonagle sebagai Marius Verbeek, Rupert Penry-Jones sebagai Willem Beijerinck, dan Olivia Williams sebagai Johanna Beijerinck. Ketika film ini diputar di Amerika, judulnya diganti menjadi Krakatoa: Volcano of Destruction.
Baca Juga
Rupanya malapetaka gunung meletus dalam bingkai pengetahuan Inggris, terejawantah dalam bahasanya, destruction, diserap dari bahasa Latin destructio, diterangkan oleh Oxford English Dictionary on History Principles, “The action of destroying, demolition, devastation, slaughter”—sesuatu yang hancur-cur-cur-cur dan merupakan azab paling sengsara bagi hidup dan kehidupan manusia, hewan, dan tanaman-tanaman. Berkaitan dengan itu, nama Indonesia—yang oleh Belanda disebut Gordel van Smaragd atau Zamrud Khatulistiwa—diingat pula di seluruh dunia karena mula-mula Gunung Tambora pada 68 tahun sebelum meletus Krakatau telah lebih dulu meletus dahsyat, melenyapkan 15.000 jiwa manusia. Gunung Tambora sampai sekarang masih tetap menjelang perkasa di Pulau Sumbawa. Maka berdoalah supaya ‘beliau’ tidak marah seperti 204 tahun lalu.
Salahsatu buku pepak yang mengisahkan kedahsyatan erupsi Tambora, terbit pada 2014 di Amerika, ditulis oleh Gillen D’Arcy Wood, berjudul Tambora: the eruption that changed the world. Buku Ini diterjemahkan di sini oleh Meda Satrio sebagai Tambora: letusan raksasa dari Indonesia. Di depannya dipasang pujian dari Simon Winchester, penulis buku Krakatoa, sebagai tanda takzim kepada sesama ikhwan. Kata dia, “Buku terbaik dan paling komprehensif.”
Menariknya buku yang disebut ini adalah di bagian depan terpampang pengantar dalam bentuk puisi dari penyair Inggris ternama Lord Byron, berjudul Darkness. Kata-katanya antaralain:
Harapan seram belaka yang dipendam dunia
Muka manusia dalam cahaya yang hilang asa
Memasang raut ganjil, seolah dengan murka
Cerita sengsara terjadi juga karena bencana lain. Namanya tsunami. Ini terjadi di Aceh 2004 pada masa awal pemerintahan duet Presiden & Wakil, SBY-JK. Orang iseng mengurai singkatan SBY-JK itu sebagai Sudah Banyak Yang Jadi Korban. Menurut catatan US Geological Survey korban tsunami di Aceh ini mencapai 227.898 jiwa. Dan, betapa sintingnya satu-dua orang Indonesia, yang repot-repot datang dari Jawa ke Aceh pakai alasan ‘misi kemanusiaan’, ternyata melakukan “sambil menyelam minum air dan kencing”, yaitu merangkap jadi maling, pencoleng, alap-alap, menyikat bantuan-bantuan yang datang dari mana-mana untuk dimakan sendiri dalam rangka memelihara cacing-cacing yang indekos di dalam perutnya. Salah seorang yang tertangkap basah, malah dibela oleh seorang beken di Jakarta.
Sejak zaman dulu tsunami rentan di Indonesia. Dalam bahasa Minahasa, ketika terjadi tsunami di Amurang pada 1830, yang menyebabkan sekarang membentuk Teluk Amurang, orang di situ menyebutnya ranolewo, harfiahnya berarti ‘air jahat’. Tentangnya ada puisi masambo—puisi resitatif yang dinyanyikan dalam bahasa Tontemboan—ciptaan Joh Tambajong, anak tentara kelahiran Magelang 1904, yang dikenal orang-orang di desa Maliku, selatan Amurang lereng gunung berapi Soputan. Puisi ini mengisahkan tentang seorang ibu yang meratap mencari anak tercintanya karena lenyap dijilat ranolewo. Kata-katanya antaralain:
Am bisa weta ndoon palowengan
Si keso’ copus i inang
Catala’em pa’apa’an ranolewo
Artinya kuranglebih: Di manakah kasihan kuburan/ Yang lumpuh kecintaan ibunda/ Sudah lenyap oleh ranolewo. Begitulah. Ketika ranolewo melanda Amurang, seorang zending Belanda bernama Nicolaas Graafland, penulis buku berharga De Minahasa, Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand, berada di benteng bekas Portugis, memimpin umat berdoa, meminta kepada Tuhan untuk menghentikan ranolewo yang dahsyat itu.
Graafland di peta kebudayaan Minahasa merupakan sosok guru rohani yang diterima dengan ikram karena pengabdiannya yang tulus kepada umat. Ia mendirikan suratkabar Tjahaja Sijang di Tomohon pada 1868 dengan model bahasa ‘Melayu Tinggi’ seperti yang pertama dilakukan pada 1733 oleh Melchior Leijdecker, dokter militer dari Malang. Menurut catatan begawan sejarah maritim dari UI, Prof Dr Adrian Lapian, yang disampaikannya dalam konferensi tingkat internasional di Bangkok, bahwa koran Tjahaja Sijang adalah yang pertama di abad ke-19 menyaji berita bukan dengan bahasa Melayu Cina seperti suratkabar-suratkabar di Jakarta.
Tujuan media pers sendiri, dalam praktiknya adalah supaya khalayak beroleh bacaan pintar menyangkut pesan-pesan para ahli terhadap semua perkara, termasuk secara khusus di konteks ini kemungkinan-kemungkinan bencana alam yang bakal dan sudah terjadi karena misalnya kelalaian-kelalaian sengaja atau tak disengaja yang dilakukan orang-orang. Karenanya, manusia modern, kata sastrawan Cina Lu Xin yang berlatar dokter medikal lulusan Jepang, harus membaca dan hidup dalam budaya literasi. Sebab, yang tidak membaca, sama seperti kelakuan hewan.
Kiranya adagium itu sudah lebih dulu diungkap oleh pemimpin nasional China, Sun Yat Sen, yang bukunya San Min Chu I dikutip oleh Bung Karno dalam bahan pidato Pancasila di hadapan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Kata cendekiawan Cina ini, “Manusia modern bukan hanya butuh sandang-pangan-papan.” Sebab, kalau hanya sandang, binatang pun punya bulu-bulu. Kalau soal makan, binatang makan. Kalau soal papan, binatang punya sarang. Yang tidak dipunyai binatang adalah buku untuk dibaca. Maka saya simpulkan: jika ada orang modern hanya berpikir tentang sandang-pangan-papan, tanpa berpikir tentang membaca, berarti manusia itu telah mengambil inisiatif menjadi binatang.
Sekalian saya ingin bilang kepada Puan-Puan & Tuan-Tuan, bahwa dengan membaca pun manusia melihat banyak kesalahan yang terletak dari sebagai leluri budaya dalam mengelola alam, tanah, tanahair, negeri, nusa. Sekarang, di luar bencana yang alami seperti gunung meletus, lindu, tsunami, agaknya banjir karena meluapnya sungai sedikitbanyak bertalian dengan kelalaian, ketidakpedulian, kejahatan manusia dalam menangani bumi milik Tuhan. Barangkali banjir di Papua yang baru dialami warga tidak secara langsung dihubungkan dengan keteledoran manusia, sebagaimana yang kerap terjadi di Jakarta.
Banjir di Jakarta, yang biasa menggenangi kota ini, sudah lama disadari orang, bahwa semua itu disebabkan oleh kejahatan warga membuang sampah di Ciliwung. Warga tidak mengindahkan bacaan yang menulis perkara-perkara celaka yang diakibatkan buang sampah di sungai. Kesimpulan Doni Monardo, bawah hal itu disebabkan letak sungai berada di belakang rumah. Bagaimana kalau diganti sungai berada di depan rumah? Entah juga.
Soalnya begini, Puan-Puan & Tuan-Tuan, seperti saya bilang tadi, bahwa tidak semua budaya tradisional, itu boleh diterima untuk dilestarikan sebagaimana selalu dihafal-hafal dan dianjur-anjur oleh pejabat-pejabat fanatik sejak zaman kemarin. Banyak kebiasaan jelek dari tradisi budaya lama justru harus dengan sadar kita sepak. Coba saja simak budaya tradisional dalam nyanyian anak-anak di Jawa yang disebut dolanan lare. Hasil penelitian musikolog Belanda, Jaap Kunst pada 1933 menyimpulkan bahwa semua dolanan lare berskala pentatonik slendro. Lagu dolanan lare ini dengan naif menganjur dan mengajar anak supaya membuang bangkai anjing di sungai. Kata-katanya begini:
Eh dayohe teko
Eh gelarno kloso
Eh klasane bedah
Eh tambalno jadah
Eh jadahe mambu
Eh pakakno asu
Eh asune mati
Eh guagno kali
Sekarang, tak tahulah, apakah ketika keberadaan sungai tidak di belakang rumah melainkan di depan rumah, jamin si Otong, si Mpok, si Dul tidak membuang sampah di Ciliwung? Duka teuing atuh. Walahualam bissawab.