Apakah hari ini mobil Puan-Puan dan Tuan-Tuan tidak terhalang masalah plat nomer ganjil-genap, sehingga Anda bisa leluasa meluncur di jalanan sekitar ‘patung tani’ ke arah Gambir?
Barangkali hanya sedikit di antara kita yang mengingat, bahwa ‘patung tani’ itu bagian dari sejarah masa lalu yang jelimet, betapa cita-cita Bung Karno pada 1926 lewat tulisannya “Nasionalisme-Islamisme-Marxisme”, sungguh-sungguh diwujudkan yang menjadi NASAKOM pada 1961, dan akibatnya keadaan negeri menjadi makin buruk, pihak palu-arit ngotot hendak menjadikan buruh-tani sebagai ‘angkatan kelima’ dan dipersenjatai. Akibatnya darah mengucur pada 1965.
Di luar cerita sejarah itu, kita boleh melihat patung petani itu, disimpul sebagai cerminan teoritis akan makna tanah sebagai kehidupan, di kasad pengetahuan agraria.
Sebelum itu, pengertian paling standar akan agraria dengan manusia dan tanah, mestilah dilihat dari sudut realitas kosmik di konteks awal tarikh. Bahwa tak pelak, agraria, dari serapan bahasa Latin agrarius memang urusannya dengan tanah, bahwa tanah memberikan kehidupan kepada manusia, sebab dengan tanah itu manusia melaksanakan pertanian, lalu dengan pertanian manusia menemukan dan membangun kebudayaan, meningkat-meningkatkan kehidupan dari yang baik menjadi lebih baik.
Gambaran di atas ini kita pandang sebagai amanat khaliki . Kita mendapat pengetahuan ini dari filologi paling tua dari sejarah peradaban manusia. Filologi yang paling tua ini adalah kitab Bereshith, bahasa Ibrani. Di situ, diwartakan bahwa Adam dicipta dari tanah, di atas tanah, sebagai makhluk yang sempurna di bawah peta dan teladan-Nya. Dengan kesempurnaan itu, manusia diberi tugas dan tanggungjawab mengatur bumi ini, dan takrif paling asasi atas bumi sebagai tempat tinggal, merangkap sebagai tempat untuk meninggal, adalah tanahnya, tanahairnya,.
Soal tanah dan penggunaannya, kita tahu bahwa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 merupakan Peraturan Dasar Pokok Agraria. Pada Lembaran Negara 1960 No. 104, lampiran III KUHP, antaralain mengatur penjiwaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut yang berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Ada roh Belanda membayang di situ. Pada 1870, di masa pemerintahan Gubernur Jendral Mr P. Mijer, keluar Agrarisch Besluit, No 118, bahwa pemerintah Belanda boleh melakukan penyewaan tanah— istilah Belandanya erfpacht—sampai 75 tahun. Artinya peraturan itu akan berlangsung sampai pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Mr A.W.L. Tjarda van Starekenborgh Stachouwer. Tapi apa lacur Gubernur Jenderal yang disebut ini keburu ditangkap tentara Jepang yang mengalahkan Belanda di awal Perang Dunia II di mana tentara Belanda telah bertekuk lutut. Pihak Belanda akhirnya mengangkat G.J. van Mook sebagai pengganti jabatan gubernur jenderal, tapi apa boleh buat, di masanya itu Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, sisa peraturan agraria zaman Hindia Belanda, toh terbawa hingga kini, yaitu model erfpacht sebagaimana yang berlaku dalam praktik kepada pengusaha asing bagi pribumi, yaitu PMDN, Penanaman Modal Dalam Negeri. Untuk itu, tidak sepi kritik mengiang seperti nyamuk haus, mencela—bukan mengkritik—kebijakan yang dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Pada zaman Belanda, istilahnya lirderlijk.
Adalah Daendels yang sangat pro Napoleon Bonaparte, dan di Jawa sebutan pangkatnya Maarschalk ditelorkan menjadi Mas Galak, karena otoriternya dan semena-mena, terutama menyangkut politik pertahanannya terhadap kemungkinan masuknya Inggris di Jawa. Yang harus diingat bekas-bekas kekejamannya adalah menyangkut masalah agraria.
Kekejaman Daendels itu bahkan ditulis oleh bawahannya sendiri, Nicholaas Engelhardt. Yang disebut ini mengungkap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Daendels. Bayangkan, ia sendiri digusur dari jabatannya. Bukan cuma itu, termasuk para demang sebagai raja lokal, yang di masa VOC merupakan sekutu Belanda dalam mengatur hasil bumi—yaitu berdasarkan pada de acten van verband, akte perjanjian, antara Belanda dengan penguasa pribumi, digusur hanya sebagai khadam baginya, dan hal itu diikat secara paksa melalui akta pengangkatan atau de acten van aanstelling. Terutama di Jawa Barat, di tanah Sunda, pada 1808 dibuat ordonansi yang mengatur tenaga rakyat dipekerjakan tanpa upah, dan tanam paksa kopi dengan hasilnya tidak lagi melalui regent atau raja-raja lokal.
Peristiwa itu melahirkan sebuah lagu mainan anak—dalam bahasa Sunda disebut kaulinan budak lembur—yang bersifat lambang-lambang kias—atau dalam bahasa Sunda disebut sasaruan atau babandingan—tentang kekuasaan Daendels yang semena-mena itu. Lagu yang dimaksud ini adalah Dengkleung Dengdek.
Dengkleung, dengkleung dengdek
Buah kopi raranggueyan
Engkeun anu dewek
Ulah pati diheureuyan
Timbul kemarahan raja-raja lokal tersebut di daerah Banten. Terlebih lagi karena rakyat di situ dipaksa pula untuk mengorbankan tanah ladang untuk dijadikan jalan dan pelabuhan Merak. Sultan di Banten pun tidak tinggal diam. Ia melakukan perlawanan. Dan Daendels pun menumpas, menangkap sang sultan lantas membuangnya ke Ambon. Seorang residen Belanda di wilayah itu, yakni Du Puy, gusar pada ketidakbijakan Daendels, lantas mendatangi Daendels di Batavia, mengecam Daendels, tapi dengan songong Daendels mengatakan bahwa dirinya lebih paham hukum—yaitu bahwa ia berangkat dari latar advokat di kota kelahirannya.
Atasnama kepentingan Prancis pulalah Daendels membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan, dikenal sebagai Grote Postweg. Dengan ‘jalan pos’ ini maka hasil bumi yang dikirim ke Batavia menghemat waktu, dari sebelumnya berbulan-bulan, dan boleh jadi hasil bumi itu tiba di Batavia dalam keadaan busuk, maka kini hanya memakan waktu tak lebih dari seminggu. Masalahnya sekarang, hasil bumi yang akan dikirim ke Eropa, tertahan karena blokade pihak Inggris di lautan antara Semenanjung Malaka sampai India. Padahal Daendels memerlukan dana besar untuk membangun ambisi cemarnya. Ia pun melanjutkan secara keras politik particuliere landrijen, menjual-juali tanah kepada orang Cina dan orang Eropa. Ketidakbijakan ini dilanjutkan secara khusus oleh raja Jawa di Yogjakarta, Sultan Hamengkubuwono, dan raja Jawa di Surakarta, Susuhunan Pakubuwono.
Menjual-juali tanah di zaman Daendels ini kemudian diterapkan pada zaman Raffles. Khususnya di Yogyakarta, Raffles mengangkat ketua dewan Cina, atau Raad van Chinezen, Tan Jin Sing sebagai Setyodiningrat yang bertugas menarik pajag-pajag, bukan hanya bumi dan hasil tanaman, melainkan termasuk pajeg pacumpleng, yaitu seorang ibu yang menyusui bayi di luar rumah terkena biaya denda. [RS | Agraria Today]