Siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan. siapa menguasai sarana kehidupan, ia menguasai manusia!.
Dr. drh. H. Chaidir, MM

Dosen Pascasarjana Program MM, Universitas Lancang Kuning, Riau

INDONESIA tidak hanya Riau. Namun berbicara tentang konflik agraria, konflik urusan kepemilikan lahan, tanpa maksud mengada-ada, Riau bolehlah dikedepankan sebagai contoh kasus di negeri ini.  Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria memang tersebar di 34 provinsi,  tapi Riau adalah provinsi menyumbang konflik tertinggi. Pada tahun 2016, Riau tercatat 44 konflik (9,78%), Jawa Timur 43 (9,56 %), Jawa Barat 38 (8,44%), Sumatera Utara 36 (8,00%), Aceh 24 (5,33%), dan Sumatera Selatan 22 (4,89%).

Menurut data yang dihimpun Imparsial Mediator Networking (IMN), Provinsi Riau tercatat menjadi provinsi yang paling banyak terjadi konflik agraria, atau konflik tenurial (lahan) di sepanjang tahun 2017. Data yang diungkap berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yakni dalam peta indikatif potensi konflik tenurial kawasan hutan. Sepanjang 2017, di Riau tercatat 37 konflik. Diikuti Jambi 28 konflik, Sumatera Selatan 16, Kalimantan Timur 16 dan Lampung 14 (Tribunpekanbaru.com 15/12/2017).

Konflik agraria di Provinsi Riau antara warga dengan pengusaha, warga dengan aparat keamanan yang mewakili pemerintah dalam melakukan eksekusi), antara sesama warga, antara LSM (yang membela warga) dengan aparat, sudah sering terjadi. Beberapa waktu lalu di Dusun Suluk Bongkal, Desa Beringin, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, 500 rumah penduduk dihancurkan, sebagian dengan alat berat sebagian dibakar. Sekuriti perusahaan didukung penuh oleh aparat keamanan diperintahkan untuk mengosongkan lokasi tersebut. Diberitakan, sebagian penduduk lari ke dalam hutan, sebagian lainnya mengungsi ke rumah sanak famili di dusun terdekat. Bentrokan tersebut menimbulkan korban jiwa.

Sebelumnya, bentrok antara warga Desa Tolan Baru, Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu, dengan karyawan PT Torganda, juga membawa korban. Demikian pula bentrok warga Dusun Tobat, Tambusai Timur, juga di Kabupaten Rokan Hulu,  dengan  PAM Swakarsa PT SAR, juga memakan korban anak-anak negeri.

Konflik agraria di Kabupaten Kuantan Singingi, antara warga dengan perkebunan menewaskan seorang ibu. Ratusan petani terpaksa menjalani vonis kurungan karena menuntut hak-hak mereka. Dan masih panjang cerita tentang konflik agraria di Riau bila mau disebut satu per satu. Tanah yang seharusnya menjadi sumber penghidupan, berubah menjadi malapetaka ketika warga harus terbunuh atau dibui di tanah mereka sendiri.

Sumber konflik agraria ini disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, tumpang tindih penguasaan lahan, penyerobotan lahan, perbedaan alas hukum yang kemudian menimbulkan aksi saling klaim atas keabsahan kepemilikan lahan. Konflik juga terjadi karena adanya ketimpangan penguasaan hutan dan lahan, pemberian izin-izin konsesi yang tumpang tindih, ketidakadilan pengelolaan hutan, dan kurang efektifnya fungsi kelembagaan yang terkait perizinan dan pengawasan urusan agraria.

Baca juga  Surabaya - Malang Kini Hanya Satu Jam

Pencamplokan tanah oleh kelompok kuat terhadap kelompok lemah tersebut memberi indikasi bahwa kita semua abai alias kurang peduli. Metode ‘perampokan’ dan sah secara hukum yang dilakukan oleh kelompok kuat (relasi penguasa dan pengusaha), tak pernah dijadikan pelajaran perbaikan bagi pembelaan hak-hak kaum lemah. Apalagi kemudian warga harus berhadapan dengan apa yang dikenal sebagai mafia tanah atau mafia pengadilan, dan aksi-aksi premanisme. Praktik illegal seperti inilah yang sering menambah runyam permasalahan.

Secara lebih spesifik, terlihat, ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTl) menjadi penyebab utama konflik agraria di Provinsi Riau. Arogansi ekspansi korporasi, memonopoli lahan yang ada sehingga tak lagi tersedia untuk warga. Dewasa ini Riau tercatat sebagai provinsi dengan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Sayangnya, sebagian izin diberikan di atas lahan yang sesungguhnya telah dikuasai dan digarap warga setempat, bahkan telah turun temurun. Dan situasi ini tentu saja membuat warga asli yang tak memiliki alas hukum semakin tersudut.

Namun, permasalahan agraria tak melulu dalam bentuk konflik agraria. Setelah 57 tahun pasca diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960, situasi agraria di tanah air kelihatannya belum sepenuhnya lepas dari corak feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme. Hal ini tentu saja menimbulkan kegalauan, sebab UUPA 1960 sesungguhnya merupakan mandat konstitusi negara dalam rangka pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berlandaskan keadilan sosial sebagai amanat pasal 33 UUD 1945.

Politik kebijakan agraria nasional dalam realitasnya semakin tidak bersahabat dengan petani dan warga yang tinggal di pedesaan. Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5Ha dan/atau tidak bertanah. Per Maret 2017, sebanyak 17,10 juta penduduk miskin hidup di pedesaan dan ditandai dengan terus naiknya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan  (BPS, 2017). Sebagian besar warga desa asli yang memiliki persil kecil tersebut belum memiliki sertifikat alas hak atas tanahnya. Cepat atau lambat kondisi ini akan menimbulkan permasalahan bangsa dalam melakukan lompatan maju ke depan.

Padahal dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2018 beberapa hari lalu, disebutkan bahwa pemerintah telah merancang program untuk penyelesaian sertifikasi tanah bagi rakyat sehingga rakyat terhindar dari konflik kepemilikan lahan dan juga rakyat memiliki kepastian hukum atas kepemilikan aset, sehingga dapat mereka manfaatkan untuk kegiatan ekonomi produktif serta peningkatan kesejahteraan keluarga. Langkah percepatan penerbitan sertifikat saat ini sudah tercapai dengan telah diterbitkannya jutaan sertifikat tanah rakyat. Tahun lalu, target 5 juta sertifikat sudah tercapai, dan pada tahun 2018 dan tahun 2019 ditargetkan meningkat. Pada 2018 menjadi tujuh juta, dan pada 2019 akan ditingkatkan menjadi 9 juta sertifikat.

Baca juga  Pegawai minta Presiden tegas sikapi capim bermasalah dan revisi UU KPK

Bersamaan dengan sertifikasi tanah tersebut, Pemerintah harus terus menggencarkan reforma agraria dan redistribusi lahan. Sampai tahun 2017 telah dilepaskan area dari kawasan hutan negara, sekitar 977 ribu hektare. Begitu juga untuk Perhutanan Sosial, sudah diberikan 1,7 juta hektare akses kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Proses pengelolaan lahan kawasan hutan itu disertai dengan pendampingan agar tujuan utama untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat bisa tercapai.

Sesungguhnya pemerintah sudah berada pada political will dalam program reforma agraria dan redistribusi lahan sesuai amanat UUPA 1960 dan itu tercermin dari salah satu prioritas kerja nasional yang terdapat pada butir ke-5 program Nawacita.  Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kekayaan pribadi, kekuasaan, dan pengaruh politik dari kepemilikan lahan dalam skala besar. Faktanya reforma agraria dan redistribusi lahan ini belum sepenuhnya menyelesaikan konflik agraria dan kepastian hukum kepemilikan lahan di Provinsi Riau sebagai provinsi penyumbang konflik agraria tertinggi di tanah air.

Ke depan, program reforma agraria dan redistribusi lahan itu harus tersosialisasi dengan baik, bukan hanya masalah agar konflik agraria menurun, lebih dari itu agar rakyat memperoleh kepastian hukum bagi lahan yang tak seberapa yang mereka miliki. Momentum peringatan Hari Kemerdekaan ke-73 RI tahun ini hendaknya menjadi momentum seluruh stakeholder untuk sungguh-sungguh memperjuangkan tak ada lagi warga negara yang tak memiliki tanah.

Siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan. siapa menguasai sarana kehidupan, ia menguasai manusia!***