Dr. Bedjo Santoso Researcher, Institute for Sustainable Earth and Resources (I-SER), Fakultas MIPA, Universitas Indonesia

Dalam sebuah kesempatan di Bandung tanggal 18 Maret 2018 lalu, Amien Rais berkomentar tajam mengenai kebijakan reformasi agraria Presiden Jokowi. Beliau menyatakan program tersebut ngibul karena sedikit sekali menyentuh persoalan besar yang dihadapi bangsa ini, yaitu penguasaan 74 persen lahan oleh pihak korporasi swasta dan asing. Komentar tersebut kontan menuai badai perdebatan di ranah publik.

Menko Maritim, pada tanggal 25 Maret 2018, berkomentar bahwa jika ada yang ingin “berkelahi” sebaiknya menggunakan data, jangan asal bicara. Menteri ATR/Kepala BPN menyatakan bahwa Amien tak memiliki data terkait tudingan tersebut. Bantahan tersebut segera ditanggapi oleh Hanafi Rais, wakil ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), yang menyatakan data tersebut berasal dari laporan Bank Dunia tahun 2015. Rodrigo A. Chaves, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, kemudian membantah Bank Dunia pernah merilis laporan semacam itu.

Sekarang, mari kita coba melihat dan memosisikan perdebatan soal program reformasi agraria tersebut secara obyektif. Hal pertama yang harus dilakukan adalah meninjau secara definitif apakah yang dimaksud sebagai reformasi agraria. Secara sederhana, reformasi agraria mengarah pada distribusi ulang lahan pertanian atas dukungan atau prakarsa pemerintah. Sedangkan secara luas, batasannya mengarah kepada peralihan sistem atau struktur agraria suatu negara secara keseluruhan. Reformasi agraria harus mencakup kebijakan dalam bidang kredit, pelatihan, penyuluhan, penyatuan tanah, dan sebagainya.

Lebih jauh lagi, Bank Dunia (2003) menggunakan lima aspek dalam mengevaluasi reformasi agraria, yaitu harga dan liberalisasi pasar, reformasi pertanahan termasuk di dalamnya pengembangan pasar pertanahan, saluran pasokan atas hasil dan input pertanian, keuangan pedesaan, dan terakhir institusi pasar. Jika menilik dua definisi di atas serta kriteria evaluasi Bank Dunia, apa yang telah dilakukan oleh pemerintah sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai reformasi agraria. Mengapa?

Baca juga  Presiden 100 Persen Rakyat Indonesia

Pertama, pembagian sertifikat tanah tidak bisa dikatakan sebagai redistribusi lahan. Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah sekadar upgrade legalitas atas lahan yang secara de facto memang sudah dimiliki oleh rakyat penerima sertifikat. Jadi, sekali lagi, tidak ada distribusi ulang lahan sesuai dengan definisi sederhana dari reformasi tanah. Kedua, tujuan akhir dari reformasi lahan secara luas adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus ada beberapa kebijakan pendukung seperti kebijakan bidang kredit, pelatihan, pasokan input pertanian dan akses hasil pertanian, dan sebagainya. Sampai sejauh ini, penulis melihat kebijakan-kebijakan tersebut belum terealisasi.

Mungkin, inilah yang dimaksud oleh Amien Rais ketika mengatakan program bagi-bagi sertifikat tanah adalah pengibulan. Pilihan kata yang beliau pakai, ngibul, mungkin harus dilihat dalam konteks bahasa Jawa yang pada hakekatnya bukan berarti bohong, tetapi lebih tepat diartikan sebagai bualan atau membesar-besarkan cerita. Dalam konteks ini, pernyataan Amien memang terasa lebih mengena. Reformasi lahan bukan hanya program bagi-bagi sertifikat dan tak cukup berhenti sampai di situ. Masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintahan Jokowi untuk dapat mencapai tujuan akhir dari reformasi lahan, yaitu kesejahteraan rakyat.

Baca juga  Presiden Jokowi Paparkan Alasan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia Timur

Perlu digarisbawahi, reformasi lahan dengan semua kebijakan terkaitnya membutuhkan waktu antara 20 hingga 30 tahun untuk terealisasi. Itupun dengan catatan semua program tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan terencana, sungguh-sungguh, dan berkesinambungan. Jadi, tidak mungkin reformasi lahan secara keseluruhan bisa diselesaikan hanya dalam satu atau dua periode kepala pemerintahan. Dengan demikian, program yang tujuannya sangat mulia ini merupakan tanggung jawab siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin NKRI.