Program reforma agraria pemerintah yang antara lain berupa sertifikasi lahan ibarat pisau “bermata dua”. Dari satu sisi, ia akan menambah aset bagi masyarakat. Sementara dari sisi yang satunya justru ia akan menjadi alat melegitimasi “merampas” aset yang dimiliki masyarakat.
Oleh karena itu, persoalan legalisasi aset ini menjadi penting agar tujuan legalisasi aset yakni sebagai salah satu upaya pemerintah mengurangi ketimpangan ekonomi masyarakat bisa tercapai. Namun, persoalan lainnya yang penting untuk diketahui adalah bagaimana sesungguhnya sejarah kepemilikan tanah di masa feodal di Eropa, Asia dan termasuk di Indonesia?
Di Inggris, misalnya, pada mulanya sistem kepemilikan tanah berada di tangan raja, keluarga dan bangsawan. Rakyat umumnya teramat jarang memiliki tanah. Selama berabadabad, tanah merupakan sumber utama kekayaaan Kerajaan Inggris. Akan tetapi, sistem kepemilikan tanah mulai berubah ketika Revolusi Industri pada abad ke-18 terjadi. Mereka yang tadinya dicap sebagai “tuan tanah” mulai berubah dengan menginvestasikan modalnya dengan memiliki pabrik dan mesin.
Sejarah kepemilikan tanah di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Seperti yang disampaikan buku Bunga Rampai Korupsi, tanaht-anah luas adalah milik raja, dan raja menyerahkannya kepada para pangeran kaum bangsawan pengawasan berbagai kawasan. Mereka ditugaskan untuk memungut pajak, sewa, upeti dari rakyat yang menduduki dan mengerjakan tanah. Dengan kata lain, rakyat pada umumnya tidak memiliki tanah.
Situasi demikian hingga hari ini terus berlanjut. Ketimpangan kepemilikan tanah masih lebar. Salah satunya disebabkan pertambahan penduduk yang meningkat secara drastis. Sebab yang lain adalah pengalihan lahan yang dikelola negara kemudian diambil alih pengusaha. Di sini program sertifikasi lahan menjadi penting agar tanah-tanah yang dikuasai rakyat tidak diambil alih pengusaha.
Agar tujuan mengurangi ketimpangan ekonomi serta ketidakadilan penguasaan tanah lewat program legalisasi aset itu bisa dicapai, di masa Soeharto ada yang disebut dengan 8 jalur pemerataan. Kedelapan jalur itu adalah pemerataan kebutuhan pokok baik sandang, pangan dan papan; pemerataan pembagian pendapatan; pemerataan kesempatan kerja; pemerataan kesempatan berpendapat; pemerataan dalam berpartisipasi dalam suatu pembangunan; pemerataan kesempatan membuka usaha; pemerataan memperoleh pendidikan; dan pemerataan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, 8 jalur pemerataan itu tidak menyinggung aspek modal (aset tanah) dan modal finansial.
Ini menjadi semacam missing link sehingga agak sulit untuk mewujudkannya. Padahal, tanpa kedua aspek itu masyarakat tidak akan mungkin bisa memeroleh pendapatan, kesempatan kerja, pendidikan dan kesehatan, kebutuhan pokok serta lain sebagainya. Lalu, karena ketiadaan akses keadilan dan pemerataan pembangunan, tentu saja masyarakat tidak bisa berpartisipasi dalam pembangunan. Padahal, keadilan pula yang melandasi terbentuknya Undang Undang Pokok Agraria pada 1960.
Tujuannya untuk menciptakan pemerataan struktur penguasaan tanah untuk meningkatkan kehidupan kaum tani. Bahkan program landreform yang menjadi inti dari UU PA disebut Bung Karno sebagai satu bagian mutlak dari revolusi Indonesia.
Itu sebabnya, sertifikasi lahan merupakan modal penting bagi masyarakat untuk mendapatkan modal finansial. Dengan kata lain, perlunya menyelaraskan antara land reform dengan credit reform melalui bank-bank yang dimiliki pemerintah sehingga aset masyarakat terus bertambah dan tidak berkurang.
Yang dimaksud dengan credit reform berkaitan dengan modal finansial yang diberikan perbankan lewat jaminan aset meliputi pembinaan, penyaluran dan pengembangan modal. Melalui credit reform perbankan tidak menjadi tengkulak tanah akibat ketidakmampuan masyarakat membayar cicilan kredit yang mereka peroleh dengan mengagunkan sertifikat tanahnya ke bank. Dengan demikian, program sertifikasi lahan ibarat pisau “bermata dua” itu bisa dicegah.
Dalam bahasa keuangan, model seperti ini disebut sebagai collateral atau agunan. Ini bisa disebut sebagai bagian dari manajemen risiko untuk progam reforma agraria terutama dalam hal legalisasi aset. Lewat model seperti ini dan credit reform itu aset masyarakat berupa lahan akan menjadi aset tetap. Dari sini, meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai pemilik aset menjadi penting. Ini merupakan tugas Kementerian Agraria Tata Ruang/ BPN dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Oleh karena itu, integrasi land reform dan credit reform menjadi kata kunci dari program reforma agraria pemerintah hari ini. Dengan demikian, sertifikasi lahan maupun reforma agraria tidak sekadar bagi-bagi aset (lahan) yang pada akhirnya hanya menguntungkan para tengkulak tanah.