Meski tidak lagi menjadi menteri, kesibukan Malem Sambat Kaban (MS Kaban) tak berkurang. Selain sebagai Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), ia juga menjadi dosen di beberapa kampus, di antaranya di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, Jawa Barat.

Di tahun politik ini, Mantan Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut masih memberi perhatian terhadap kebijakan pemerintahanan Presiden Joko Widodo. Terutama program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.

“Sekarang ini yang perlu didudukkan dulu konsepnya. Apakah perhutanan sosial seperti perizinan pemanfaatan kawasan hutan. Apakah perizinan itu berupa HPH, HTI, atau Hutan Adat atau apa?” kata Kaban, yang ditemui sepulang shalat Tarawih, di sebuah resto di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, akhir Mei 2018 lalu.

DR. H. MS Kaban, SE, Msi. (Antara Foto/Altamira)

Mengenakan busana gamis berwarna abu-abu dan berpeci, Kaban bersemangat jika berbicara mengenai hutan dan pentingnya masyarakat di seputar hutan.

“Ketika saya ditunjuk menjadi Menteri Kehutanan di era lalu, kebijakan yang kami terapkan adalah mengembangkan ekonomi masyarakat di seputar hutan. Jangan biarkan mereka menjadi penonton saja. Dan jangan dibiarkan mereka konflik karena status pengelolaan dan peruntukkannya tidak jelas,” katanya.

Baca juga  Monumen Kapsul Waktu di Merauke Siap Diresmikan oleh Presiden Jokowi

Kaban tidak setuju bila program sekarang ini menggunakan istilah perhutanan sosial. Menurut dia, pilihan kata itu seakan-akan masyarakat yang di sekitar hutan itu perlu dikasihani.

”Sudah menjadi kewajiban negara yang menguasai kekayaan Indonesia dan mengelola cabang-cabang produksi digunakan sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia,” katanya.

Salah satu implementasinya, jika mengembangkan hutan tanaman industri (HTI) sebanyak 12 juta hektare, maka paling tidak 6 juta hektare untuk masyarakat.

”Minimal mereka mendapatkan 5 hektare untuk satu keluarga. Dan, sesuaikan dengan tanaman yang biasa mereka olah. Dibantu juga untuk pengelolaannya hingga ke pasar. Minimal Rp 10 juta keluarga sebulan mesti dapat dari situ,” katanya.

Kaban mencontohkan model hutan di Lubuk Beringin, Provinsi Jambi. Dulunya daerah hutannya rusak, air sungai tercemar, dan lingkungannya tidak dikelola. Namun sekarang menjadi daerah wisata utama di Jambi.

”Caranya mereka kami suruh berembug, apa maunya mereka. Setelah ketemu modelnya, mereka bangun, kami berikan undang-undangnya agar mereka tidak membangun dengan merusak. Sekarang mereka sejahtera,” katanya.

Baca juga  MENDEKATKAN ALAM PIKIR JOKOWI: CITA-CITA KEMAKMURAN LEWAT PEMBANGUNAN

Lubuk Beringin kini bersih dan terawat, sungai penuh ikan-ikan sebesar paha, dan hutannya asri.
Hutan di sana menjadi model bagi hutan-hutan adat lain. Bupati dan Kepala Dinasnya diundang berbagai negara seperti Amerika dan beberapa negara Afrika untuk berbagi pengalaman dalam mengelola hutan yang memberikan kemakmuran ekonomi dan tidak merusak lingkungan.

”Mereka bisa manfaatkan secara pribadi, juga secara ekonomi berkembang baik,” kata Kaban. [Didang P. Sasmita]