“TUGAS KAMI MEMPERCEPAT PENYELESAIAN REFORMA AGRARIA”
Jenderal (Purn.) Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan)
BANYAK yang Menaruh Harapan Besar ketika Jenderal (Purn.) Moeldoko diangkat Presiden Joko Wododo menjadi Kepala Staf Presiden (KSP), menggantikan Teten Masduki, 17 Januari 2018 silam. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati, misalnya, mengatakan dirinya berharap Moeldoko mempercepat dan memastikan Reforma Agraria berjalan dengan baik.
Seperti ditulis pada situs resmi KSP, Reforma Agraria merupakan komitmen Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Program ini dilakukan melalui redistribusi dan program kepemilikan tanah seluas sembilan juta hektare. Secara operasional, program ini dilaksanakan dengan melegalisasi aset tanah bagi masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik, yang memungkinkan warga memanfaatkan tanah secara baik.
Untuk menggali informasi terkini terkait hal tersebut dan sudah sejauh mana program Reforma Agraria berjalan, tim redaksi Majalah Agraria pun menemui Moeldoko. Ia didampingi Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan Leonardi serta Tenaga Ahli Kedeputian II Abetnego Tarigan dan Syska Hutagalung. Dalam kesempatan tersebut, kami juga sempat menanyakan hal-ihwal Perhutanan Sosial dan mengapa masalah agraria semakin meningkat belakangan ini.
“Sumber meningkatnya masalah agraria, salah satunya, pertumbuhan penduduk semakin banyak. Dengan sendirinya kebutuhan akan lahan kian meningkat. Dulu, orang masih sedikit. Jadi, enggak ada ribut-ribut soal tanah atau lahan. Mau memiliki tanah, tinggal patok,” ungkap mantan Panglima TNI itu.
Program Reforma Agraria memang termasuk Program Prioritas dalam Sistem Pemantauan KSP. Artinya, KSP memantau dan mengendalikan Program Reforma Agraria, termasuk mengurai hambatan dan sumbatannya, agar pencapaiannya sesuai dengan target dan arahan Presiden Joko Widodo.
“Kami juga berupaya program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial dapat menjadi bagian dari resolusi konflik,” tutur Lulusan Terbaik Akademi ABRI Tahun 1981 yang lahir di Kediri, Jawa Timur, ini dengan nada bersemangat.
Moeldoko memang selama ini dikenal sebagai seorang sosok militer yang tegas, selalu bersemangat, sekaligus hangat dan ramah. Ia juga tokoh nasional yang dekat dengan petani. Itu sebabnya, Moeldoko diberi amanah untuk menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sejak 10 April 2017 lampau.
Selama perbincangan, kami melihat Moeldoko memang sosok yang tepat untuk memimpin KSP. Wawasan dan pengalamannya luas, termasuk untuk hal-ihwal yang berkenaan dengan tugas dan tanggung jawab KSP. Ia juga dengan terbuka mau berbagi berbagai informasi yang relevan.
Berikut petikan wawancara Didang Pradjasasmita, Kristian Ginting, dan Dudut Suhendra Putra dari Majalah Agraria dengan Moeldoko di ruang kerjanya, di Bina Graha, Jakarta, 16 Mei 2018 lalu.
Sebenarnya, apa saja peran KSP dalam Program Reforma Agraria, sebagaimana dituangkan dalam Surat Keputusan Menko Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017?
Perlu saya sampaikan terlebih dulu, komitmen Presiden Joko Widodo dan Kepala Staf Presiden atas Program Prioritas Agraria belum berubah sejak 2014 sampai dengan sekarang. Sejak awal tahun 2015, Reforma Agraria adalah salah satu Program Prioritas dalam Sistem Pemantauan KSP. Artinya: dipantau, dikendalikan, termasuk melakukan debottlenecking agar delivery-nya sesuai dengan target dan arahan Presiden Jokowi.
Peran dan fungsi inilah yang kemudian memperkuat Tim Gugus Tugas Reforma Agraria yang dibentuk oleh Menko Perekonomian, Pak Darmin Nasution, pada bulan Mei 2017 lalu. KSP berkolaborasi dengan Kemenko Perekonomian dalam hal melakukan koordinasi ke kementerian teknis terkait, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruan/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, serta Kementerian BUMN. Kami juga harus memastikan berjalannya rancangan kegiatan dan program kegiatan Reforma Agraria.
Dalam Tim Gugus Tugas Reforma Agraria dibentuk tiga kelompok kerja atau pokja, yakni Pokja Pelepasan Kawasan Hutan dan Perhutanan Sosial; Pokja Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek Reformasi Agraria (TORA), dan; Pokja Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Kemenko Perekonomian dan KSP memastikan deiivery tugas dari ketiga fungsi pokja ini.
KSP pada Agustus 2017 mengundang para pegiat reformasi agraria, organisasi masyarakat sipil (civil society organisation, CSO), dan para akademisi untuk mempercepat pencapaian Reforma Agraria 2017-2019. Sejauh ini apa hasilnya?
Pertemuan dan kolaborasi lintas stakeholder memang menjadi komponen penting dan bahkan salah satu kunci keberhasilan suatu program. Dari rekan-rekan CSO, kami mendapat sense yang mendalam mengenai apa dan bagaimana yang terjadi di lapangan, apa yang dirasakan masyarakat. Dari rekan-rekan akademisi, kami mendapatkan masukan mengenai basis, model, dan mekanisme pelaksanaan yang ideal. Lalu, kami dari pemerintah bertugas memutuskan dan melaksanakan.
Nah, kolaborasi dengan CSO dan akademisi telah berhasil merumuskan payung hukum untuk mengakselerasi Reforma Agraria. Tahun 2017 lalu misalnya, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, PPTHK. Minggu lalu [awal Mei 2018] diterbitkan petunjuk teknisnya agar dapat segera diakselerasikan di lapangan. Dalam waktu dekat, kami juga akan mendorong penerbitan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria. Sekarang sudah tahap finalisasi di Kemenko Perekonomian
Selain itu, sepanjang Februari sampai April 2018, kami melaksanakan Roadshow Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di sembilan provinsi. Kami menggandeng kementerian terkait, berkolaborasi dengan CSO. Tujuannya untuk menjaring dan menindaklanjuti usul-usul soal TORA dan Perhutanan Sosial dari daerah. Kami harapkan ini menambah capaian target Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial pada tahun 2018.
KSP sekarang juga sedang mencoba satu platform di lapor.go.id untuk memudahkan masyarakat mengajukan pengaduan soal Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Platform ini bekerja sama dengan beberapa CSO agar pemanfaatannya optimal, yang akan terhubung dengan kementerian terkait.
Ada yang mengatakan, Reforma Agraria yang sesungguhnya hanya dapat tercapai antara lain bila punya data akurat, didukung masyarakat yang kuat, dan juga komitmen politik dari pemerintah. Pendapat Anda?
Memang, salah satu masalah mendasar dalam pembangunan adalah soal ketersedian data. Dalam bidang pertanahan, misalnya, kita memiliki 85 Peta Tematik di 19 kementerian/lembaga dan 34 provinsi. Beberapa peta itu memiliki skala yang berbeda-beda. Dengan demikian tak ada akurasi dan basis tunggal yang digunakan untuk membuat kebijakan. Ini juga yang membuat urusan kepemilikan lahan tumpang tindih serta munculnya ketidakaturan penataan ruang. Akibatnya: muncul konflik di berbagai daerah.
Itu sebabnya, Presiden Jokowi memerintahkan pembuatan Kebijakan Satu Peta, yang kemudian dituangkan dalam peraturan presiden pada tahun 2016 lalu.
Dengan begitu ada satu referensi tunggal dan acuan untuk data pertanahan nasional, khususnya dalam pembuatan kebijakan.
Ini tentu akan membantu kementerian teknis dalam menyelesaikan permasalahan tumpang-tindih yang saya sebutkan tadi. Langkah ini menciptakan akurasi penglepasan lahan dan perubahan tata batas kawasan hutan serta sertifikasi tanah, yang mendukung kesuksesan Reforma Agraria.
Mengenai komitmen politik, tentu kita semua sangat sepakat untuk itu. Dan, Presiden Jokowi membuat komitmen tersebut, yang dengan berani mengubah dan menggeser peruntukan lahan di negeri ini menjadi untuk masyarakat miskin melalui sembilan juta hektare Reforma Agraria dan 12,7 juta hektare Perhutanan Sosial. Semua itu dikonkretkan menjadi Program Prioritas Nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah 2017 dan 2018.
Bagaimana dengan penguasaan lahan oleh swasta, yang sempat menjadi polemik beberapa waktu lalu? Apakah KSP punya data akurat mengenai berapa sesungguhnya lahan yang dikuasai swasta? Seberapa banyak sebenarnya lahan yang menjadi sumber konflik di Indonesia?
Data penguasaan lahan oleh swasta ada di kementerian teknis. Untuk penguasaan hutan oleh perusahaan swasta, dalam Hutan Tanaman Industri dan lain-lain, termasuk hutan yang dilepaskan untuk perkebunan dan usaha lain, dapat diperoleh datanya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, LHK. Adapun untuk Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang dikuasai dan dikelola swasta bisa ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, ATR/BPN. Seingat saya, Ibu Menteri LHK Siti Nurbaya sudah pernah menyampaikan ini dalam diskusi di Forum Merdeka Barat beberapa waktu yang lalu.
Terkait konflik agraria baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan memang perlu konsolidasi data dan informasi. Kami melihat, masyarakat melaporkan kasus-kasusnya ke beberapa instansi. Masyarakat yang berkonflik karena kawasan hutan pasti berurusan dengan Kementerian LHK, sedangkan di luar kawasan hutan ada yang ke pemerintah daerah atau langsung ke Kementerian ATR/BPN. Kami juga mengetahui, ada yang melaporkan ke beberapa institusi negara lain, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Ombudsman.
Selain ke institusi atau kementerian tersebut, cukup banyak warga yang melaporkan kasusnya ke istana melalui KSP. Ini datanya secara umum. [Moeldoko memperlihatkan datanya.]
Apa sebenarnya penyebab utama munculnya konflik agraria? Apa karena ketimpangan penguasaan lahan? Apa KSP sudah punya resep untuk menuntaskan semua konflik agraria di Indonesia?
Ketimpangan penguasaan lahan dan tumpang tindih kepemilikan menjadi penyebab konflik agraria—masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan swatsa, bahkan masyarakat dengan pemerintah. Penyelesaiannya tentu harus dengan sinergi dan kolaborasi kementerian dengan lembaga terkait. Cara ini harus terintegrasi, agar tidak hanya melakukan satu pendekatan atau penyelesaian tunggal.
Wujud komitmen Presiden Jokowi atas penyelesaian konflik agraria menjadi bagian dari Reforma Agraria. Untuk itulah di KSP dibentuk tim khusus untuk mengintegrasikan penyelesaian konflik ke kementerian teknis terkait. Kami juga berupaya agar Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial dapat menjadi bagian dari resolusi konflik.
Sekarang soal sertifikasi. Sudah seberapa banyak sertifikat yang diberikan kepada rakyat? Benarkah itu gratis?
Sampai 15 Februari 2018, Kementerian ATR/BPN sudah memberikan 6.490.259 sertifikat kepada masyarakat. Tentu, lahan Reforma Agraria-nya gratis, tapi memang ada proses administrasi persiapan pendaftaran di tingkat keluarahan yang membutuhkan biaya, untuk persiapan dokumen, kegiatan patok dan meterai, dan operasional petugas desa/kelurahan. Ini sudah diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa.
Ada lima kategori besaran biayanya. Di Jawa dan Bali sebesar Rp 150.000, terus sampai kategori paling timur di Papua dan sekitarnya sebesar Rp 450.000. Perlu diingat, biaya pendaftaran atau administrasi yang dimaksud bukan berarti tanahnya tidak gratis.
Namun, data dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria menyebutkan, sertifikasi itu tidak gratis. Bahkan, di beberapa tempat, para petani dikutip Rp 300 ribu hingga Rp 700 ribu. Bagaimana dengan soal ini?
Bukan dikutip. Kita perlu hati-hati dengan istilah yang kelihatannya sederhana namun berbahaya. Soal biaya, seperti saya sebutkan tadi, memang ada beban biaya pendaftaran untuk keperluan administrasi dokumen dan kegiatan persiapan di tingkat kelurahan atau desa, sebagaimana dijelaskan dalam surat keputusan bersama tiga menteri itu. Ada tarif resmi dan ada batasannya. Jika memang di lapangan ada temuan beban biaya di luar ketentuan, silakan laporkan. Kita memiliki kanal pangaduan Lapor! Pengaduan akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang ada.
Ada yang menilai, sertifikasi sama sekali tidak mengurangi konflik, sebab tidak ada tanah rakyat yang sedang berkonflik yang disertifikasi. Benarkah?
Yang mengatakan itu silakan berdiskusi dengan tim saya di sini. Sederhananya begini. Dengan adanya sertifikat berarti ada kepastian hukum atas kepemilikan lahan. Dengan begitu, jika tanah Anda ada yang ingin menyerobot, misalnya, itu tidak bisa dilakukan, karena ada pemilik sahnya secara hukum, yaitu Anda.
Memang, tidak ada tanah rakyat yang sedang berkonflik disertifikasi. Karena, yang disertifikasi itu tentunya yang sudah clean and clear. Untuk yang sedang dalam konflik tentu diselesaikan dulu konfliknya, setelah selesai baru disertifikasi, agar tidak menciptakan konflik baru. Itu mengapa penyelesaian konflik menjadi salah satu komponen kegiatan dalam Reforma Agraria.
Kalau dilihat secara makro, Program Reforma Agraria jadinya seperti sekadar program legalisasi aset saja, ya, untuk memperluas pasar tanah dan mendapatkan kredit perbankan?
Begini. Capaian legalisasi memang lebih besar dibanding capaian redistribusi. Angka redistribusi 262.198, sementara angka legalisasi 6.490.259. Tapi, bukan berarti dan tidak bisa diartikan Reforma Agraria hanya legalisasi tanah. Kita kembali saja ke target Reforma Agraria itu sendiri: 4,5 juta hektare legalisasi dan 4,5 juta hektare redistribusi. Namun, deliveri redistribusinya memang belum sesuai target.
Apakah ada masalah? Tentu ada. Salah satunya tadi seperti saya sampaikan mengenai peta tematik. Kementerian LHK telah mengalokasikan kawasan hutan untuk redistribusi, namun dalam posesnya ada masalah karena ada gap antara peta dan kondisi di lapangan, sehingga belum bisa diredistribusi. Nah, tugas kami adalah mempercepat penyelesaiannya, salah satunya dengan Kebijakan Satu Peta.
Seperti sering dikatakan Presiden Jokowi saat membagikan sertifikat, maksud dan tujuan sertifikasi aset kan untuk meningkat kesejahteraan karena sertifikat bukti kepemilikan yang legal sehingga bisa dijadikan pinjaman modal usaha ke bank. Tapi, menurut informasi yang kami terima, implementasinya di lapangan ternyata masih sulit….
Program ini memang dirancang bukan sekadar memberi aset, tapi juga akses ke lahan sekaligus diikuti dengan pemberdayaan masyarakat, antara lain masyarakat menjadi bisa mengakses lembaga keuangan. Meminjam istilah Kementerian ATR/BPN, acces follow the asset. Artinya, pemberian aset atau lahan disertai dengan akses atau pemberdayaan agar lahannya menjadi produktif dan menjadi sumber daya ekonomi baru bagi masyarakat. Kalau ada kendala atau kesulitan mengakses perbankan, kementerian dan lembaga teknis memiliki mekanisme penyelesaian dan aduan untuk masalah ini.
Bagaimana KSP melibatkan peran pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dalam menyukseskan Program Reforma Agraria?
Untuk pelibatan pemerintah daerah, kami serahkan kepada Kementerian Dalam Negeri sebagai pengampu daerah. Jika dibutuhkan proses debottlenecking dan dukungan lain, di situlah peran KSP untuk menyelesaikan. []