AGRARIA.TODAY – Masih dalam suasana Idul Fitri, penggemar wayang dapat melihat pertunjukan akbar Shadow Play Sandosa Sasono Mulyo lakon Siluet Bhagawat Gita, pada hari Kamis 18 April 2024 pukul 19.00 Wib di Taman Budaya Surakarta. Wayang Sandosa pertama kali digelar 43 tahun lalu, kini diusung dari berbagai seniman untuk dipentaskan kembali
“Pentas kali ini sekaligus sebagai untaian doa, Shadowplay Sandosa Sasono Mulyo lakon Siluet Bhagawad Gita, dipersembahkan bagi swargi sang Mahaguru Bapak Gendon SD Humardani dan Swargi Ki Empu Blacius Subono S.Kar. M.Hum,” kata penulis lakon, Ki Johanes Sujani Sabdoleksono,S.Kar kepada wartawan, Senin (15/4/2024).
Menurut Ki Sujani, karya seni adalah hasil garapan olah jiwa dan rasa merupakan ekspresi rohani yang wigati. Paguyuban Shadowplay Sandosa Sasono Mulyo yang merupakan reinkarnasi cikal bakal Sandosa Sasono Mulyo yang tercipta 43 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1981. Kala itu, kami dan para cantrik ASKI PKJT Taman Budaya Komplek Sasono Mulyo yang tidak terlibat lawatan seni luar negeri ke Durham, Inggris. Proses garapan pencarian bentuk Pakeliran Berbahasa Indonesia lewat lakon Wibisono Tundung kami terjemahkan dari naskah pakeliran padat karya Ki Bambang Suwarno, staf pengajar Jurusan Pedalangan ASKI Surakarta kala itu.
“Dalam proses garapan kreatif disertai pencarian yang panjang, akhirnya tercipta bentuk sementara Pakeliran Berbahasa Indonesia, yang kemudian waktu itu secara spontan oleh almarhum Mas Hajar Satoto disebutnya sebagai Sandosa,” ucap Ki Sujani.
Bagi Ki Empu Dr. Bambang Suwarno, S.Kar, M.Hum, Sandosa itu adalah suatu bentuk pakeliran baru, yang terbaru setelah pakeliran padat. Wayang dimainkan beberapa dalang. Jangkauan kelirnya minimal 6 meter hingga 8 meter, tinggi kelir mencapai 3 meter.
“Jadi untuk mengisi ruang, kelir itu menjadi kanvas. Jadi untuk mengisi ruang, kelir itu menjadi kanvas. Yang menggerakkan itu kalau bukan pendesain wayang dan bukan seorang kreator wayang, tidak punya ide untuk mengisi itu. Karena itu akan menjadi lukisan gerak, siluet bayangan. Jadi memang siluet itu adalah wayang kulit purwa. Makanya jaman dulu kalau nonton wayang kulit purwo itu di belakang kelir.” ujar Ki Bambang Suwarno.
Sementara itu, Ki Purbo Asmoro, S.Kar, M.Hum, menuturkan Sandosa merupakan sebuah curahan inovasi pakeliran menatap masa depan, bergulir menjangkau waktu. Sebagai wadah ide kreatif, penjaga substansi wayang. Kehadirannya memberi warna baru dan memukau. Yakinlah generasi penerus akan menjagamu.
Menurut Dedek Wahyudi, istilah Sandosa telah dikenal di kalangan mayarakat luas terutama kalangan masyarakat seni. Bagi sebagaian seniman teater, wayang orang, tari, dunia film, telah terinspirasi oleh bentuk sajian Sandosa. Sehingga mereka mengangkat sandosa sebagai bagian dari adegan lakon yang digarapnya. Sebagai contoh drama wayang Swarga Loka Jakarta, wayang orang, tari, dan sebagainya. Nanang HP menggarap teater dengan lakon wayang, terinspirasi garapan sandosa.
Sementara ST Wiyono, S.Kar, Sandosa tercipta waktu itu, adalah karya yang baru yang disebut hasil kreativitas seniman. Harapan karya kreatif yang disebut Sandosa Sasono Mulyo bisa terus tumbuh, hidup dan berkembang, mengikuti perkembangan jaman yang selalu berubah dengan sangat cepat.
Wayang Sandosa Sasono Mulyo didukung oleh para seniman muda kreatif dosen ISI Surakarta, berbagai padepokan, sanggar seni, Nurroso, Ciptaning, Mayangkara, Dedek Gamelan Orchestra, Artxiat Gamelan, Sahita dan sebagainya.
Sekilas sinopsis Siluet Bhagawat Gita:
Dua insan bersaudara
Karna dan Arjuna Putra Bunda kunti
Cinta kasih berdua hilang
Hanyut dalam hamparan gersang
terhalang tonggak batu karang
penghadang hadirnya cinta kasih
hidup tanpa cinta tanpa saling menyapa
perang ladang persemaian
benih pertikaian dan permusuhan
perang sesungguhnya wujud nyata petaka kemanusiaan
hidup damai bersaudara
menjelma menjadi permusuhan
berebut menang demi harta dan kuasa
Kisah selengkapnya bisa disaksikan dalam pertunjukan Wayang Sandosa Sanono Mulyo Siluet Bhagawat Gita.
(*)
KIDUNG BHAGAWAD GITA
- Bhagawad Gita nyanyian Sri Bagawan
Senandung kuasa Batara Agung
Puja dan puji Bagawan kuasa kebebasan
Kidung Batara sungguh sempurna
- Ketampanan nan sempurna
Anugerah Ilahi Suci Abadi
Buah kekayaan yang tak terbatas
Sungguh bahagia jiwa dan raga
- Kidung Suci Kemasyuran Abadi
Kuasa Batara kebesaran Insani
Kekuatan Agung yang tak terbatas
Penghalau hawa nafsu Angkara Murka
- Kidung Batara kecerdasan Tanpa Batas
Cahaya kebijaksanaan sang Batara Agung
Nyanyian Jiwa bebas lepas tanpa terikat
Sempurna dikandung bersama-sama
- Bhagawat Gita nyanyian Suci
Kidung tunggal Jati Wasesa
Bhagawad kita Senandung Agung menuju Abadi dalam Ilahi
SINOPSIS SILUET BHAGAWAD GITA
Dua insan bersaudara
Karna dan Arjuna Putra Bunda kunti
Cinta kasih berdua hilang
Hanyut dalam hamparan gersang
terhalang tonggak batu karang
penghadang hadirnya cinta kasih
hidup tanpa cinta tanpa saling menyapa
perang ladang persemaian
benih pertikaian dan permusuhan
perang sesungguhnya wujud nyata petaka kemanusiaan
hidup damai bersaudara
menjelma menjadi permusuhan
berebut menang demi harta dan kuasa
cinta kasih tiada lagi punya makna
harkat dan martabat tercampakkan
Perang harus terjadi
dan akan terjadi selamanya sejauh pongah, serakah meraja di hati
Ksatria Arjuna memilih diam
tidak lagi tertarik untuk perang
hidup tanpa pusaka tanpa senjata
damai bahagia Kerinduan Nurani
dalam diam mampu membendung
jatuhnya korban bertubi-tubi
orang-orang tak berdosa
Kidung Bhagawad Gita, kidung Bhatara Agung
nyanyian suci Kresna Batara
kekuatan Dahsyat “Daya Linuwih”
pengobar semangat jiwa yang lemah
Bhagawad Gita kidung Mulia
menuju Suci Abadi
Arjuna bangkit, aku borgol sekarang juga
sikap pongah dan serakah
harus tumpas dari negeri bawana
Karna Berseru, Bunda Kunti kenapa engkau tinggalkan daku
aku Terusir dari tanah keturunanku
terapung tiada rumah tiada kehormatan
Oh Bunda, mengapa aku terpisah dari saudaraku Arjuna
hidup ini menjelma nyata menjadi kebencian tak terpunahkan
Maafkan aku bunda Kunti
Kunti berkata penuh kasih, Puteraku terkasih Karna dan Arjuna
Kasihku tidak lagi mampu mempersatukanmu
bersama saudara-saudaramu Pandawa
maafkan aku Putraku terkasih
aku tak lagi mampu memilih atau menolak
Putraku terkasih
bagaikan pusaka jemparing
Akulah busurnya dan engkau anak panahnya
Engkau aku lepas, meluncurlah apa dan ke mana engkau mau
untuk menggapai Harapan Mulia
Restu Bunda menyertaimu
Karna berseru, Yayi Arjuna sungguh mulia
Sambutlah Aku di Medan Kurusetra yayi
Kakang Adipati Karna
aku sambut sepenuh jiwa dan raga
Cinta kasih telah musnah
terkubur tulang dan darah
saling bunuh sesama anak bangsa
Perang ejawantah Nafsu Serakah harta dan kuasa
Pasopati jemparing Arjuna
meluncur lepas dari busurnya
menebas tuntas sang Karna
“Mati Ngadeg” berdiri tegak Agung Perkasa
Arjuna datang hormat menyembah
Oh Kakang Adipati Karna
tanganku berlumuran darah Kakang Adipati Karna terkasih
Maafkan aku kakang
bukan ini yang aku maksud
Oh Bunda Kunti, aku tersesat, hidupku gelap tanpa harap
Bunda Kunti, Maafkan aku ibu
Karna penuh kasih, berbisik bening dan lembut
Yayi Arjuna Terima kasih
tangan kasihmu telah mengantarku
ke hadapan Batara Agung
Oh Bunda Kunti, Ma..af… kan a..ku…Bun…da!!
Karna gugur rebah, di pangkuan Bunda Kunti
cinta kasih peduli
sembunyi dalam lubuk hati
meraja dalam niat Suci, hidup murni
gunung bisa berubah
Samudra bisa tumpah
hanya satu kekal abadi
Kasih Bunda sepanjang masa
CATATAN KECIL TERCIPTANYA SANDOSA
Merajut kembali benang merah cikal bakal Sandosa atau pakeliran berbahasa Indonesia. Bermula dari kebiasaan menulis naskah lakon pakeliran, Sujani Sabdaleksono mahasiswa pedalangan Akademi Seni Karawitan Indonesia/ASKI Surakarta menulis naskah pakeliran bahasa Indonesia lakon Kangsa untuk ikut serta dalam lomba penulisan naskah pakeliran padat oleh Pusat Kebudayaan Jawa Tengah/PKJT Surakarta. Kemudian menulis naskah fragmen Bismo Gugur berbahasa Indonesia dalam rangka pagelaran menyambut tamu PKJT dan kemudian menulis naskah Wibisana Tundung berbahasa Indonesia hasil terjemahan naskah pakeliran padat karya Ki Bambang Suwarno pengajar jurusan pedalangan ASKI Surakarta.
Kala itu 43 tahun yang lalu tepatnya tahun 1981, ketika aktivitas perkuliahan ASKI Surakarta sedang sepi, karena para pengajar dan mahasiswa senior melaksanakan lawatan seni ke luar negeri, di Durham, Inggris.
Kami bersama-sama sebagian para cantrik ASKI PKJT Taman Budaya Jawa Tengah Komplek Sasono Mulyo, Baluwarti, Surakarta, yang tidak ikut serta dalam lawatan seni luar negeri, mencoba memulai proses garapan pakeliran berbahasa Indonesia lakon Wibisana Tundung.
Proses panjang secara teknik mencari bentuk ideal pakeliran berbahasa Indonesia bermula dari gagasan dasar sajian pakeliran mengutamakan bayangan hasil dari bias cahaya blencong dilihat dari belakang kelir.
Secara teknik untuk menghasilkan bayangan jelas dan detail menggunakan gawang kelir biasa tanpa adanya simpingan. Sabet dilakukan oleh empat orang dalang dengan cara berjongkok, ternyata cara tersebut tidak mampu bertahan lama karena kendala, salah satu dalang Saudara Sudarsana mengeluh telapak kaki nya terasa sakit, dan ternyata juga dirasakan oleh semua dalang sabet.
Kemudian ketika latihan di nDalem Sasono Mulyo disepakati bersama-sama, gawang kelir diangkat di atas meja sehingga dalang sabet sambil berdiri dapat mencipta dan mengolah bayangan dalam layar, sesuai dengan kebutuhan Adegan dan Tokoh lakon.
Akhirnya dibuatlah gawang kelir dengan Pelemahan setinggi kurang lebih 1,50 meter, lebar kelir kurang lebih 2,50 meter, dan panjang kelir kurang lebih 6 meter, dengan blencong pijar 1.000 watt, dengan harapan bayangan muncul tajam dan jelas, meliputi karakter tokoh, beserta ornamen tatahan wayang, serta suasana adegan yang diperlukan.
Dialog, narasi, monolog, sendon suluk, dan lain sebagainya dibantu oleh beberapa narator sesuai karakter tokoh lakon yang diperlukan. Gending karawitan masih belum berkembang memanfaatkan gending-gending pakeliran yang ada, sesuai kebutuhan adegan tokoh dan atau suasana lakon.
Dalam proses pencarian panjang, akhirnya tercipta sebuah bentuk baru pakeliran berbahasa Indonesia dengan lakon Wibisana Tundung yang kemudian oleh saudara Mas Hajar Satoto saat itu secara spontan disebutnya SANDOSA sebagai identitas Pakeliran berbahasa Indonesia hingga kini.
Lakon Wibisana Tundung berbahasa Indonesia digelar pertama di halaman Loji Kulon Sasono Mulyo dalam rangka pasar seni. Kemudian di ruang pringgitan Sasono Mulyo dalam rangka menyambut kehadiran rombongan lawatan seni luar negeri dan di SMK Pembangunan Negeri Semarang.
Para cantrik lawas ASKI PKJT, Taman Budaya Surakarta, yang ikut berperan dalam proses garapan karya kreatif eksperimental terciptanya pakeliran berbahasa Indonesia atau SANDOSA. Nama yang dapat kami sebut namanya saat ini adalah Ki Johanes Sujani Sabdaleksono, S.Kar, sebagai penulis naskah. Ki Sudarsono, S.Kar, M.Hum, Ki Harijadi Tri Putranto, S.Kar, M.Hum, Ki Sriyanto, S.Kar, M.Sn sebagai dalang sabet. Hengky S Rivai sebagai penata cahaya dan almarhum Ki Bambang Murtiyoso DS, S.Kar, M.Hum sebagai penata suara.
Almarhum Mas Lis Sri Mulyono DS, ST Wiyono, S.Kar, Hanindawan, Sri Sumarni Manipolwati, sebagai narator. Almarhum Catur Tulus, S.Kar penyusun iringan. Dr. Suratno, S.Kar, M.Hum, Almarhum Ki Sinarto, S.Kar, M.Hum, Kuato S.Kar, M.Hum, Ki Putut Gunawan, S.Kar, M.Hum dan lain sebagainya yang tidak dapat disebutkan satu persatu sebagai pengrawit.
PENDAPAT SENIMAN PEMERHATI :
Menurut Ki Empu Dr. Bambang Suwarno, S.Kar, M.Hum, SANDOSA itu adalah suatu bentuk pakeliran baru, yang terbaru setelah pakeliran padat. Yang semula dalang itu jengkeng, pada kesot, setelah kami pulang dari kunjungan ke luar negeri tidak begitu.
Harusnya satu wayang satu dalang, dalang itu juga memeragakan, juga dialog. Jadi gerak dan narasi atau dialognya itu bisa melekat pada garapannya. Dan dalang ini berdiri, harus berdiri, tegak supaya ekspresinya menggerakkan wayang lebih leluasa karena tebarannya lebih luas. Jangkauan kelirnya minimal 6 meter, bisa 7 meter atau 8 meter. Dan tingginya 3 meter.
Jadi untuk mengisi ruang, kelir itu menjadi kanvas. Yang menggerakkan itu kalau bukan pendesain wayang dan bukan seorang kreator wayang, tidak punya ide untuk mengisi itu.
Karena itu akan menjadi lukisan gerak, siluet bayangan. Jadi memang siluet itu adalah wayang kulit purwa. Makanya jaman dulu kalau nonton wayang kulit purwo itu di belakang kelir.
Termasuk saat keliling Eropa, para penonton lebih marem melihat dari siluet bayangan. Cuma sekali nonton dari belakang dalang.
Setelah itu mereka, minta terus siluet. Sehingga tantangan kita, bisa melahirkan beberapa sabet yang berbicara, gerak yang berbicara, blocking wayang tidak seperti tradisi saja, tidak biasa-biasa saja, tapi bisa bisa close up raut muka, close up kaki, close up apapun.
Sehingga suatu perang gedhe atau perang besar itu bisa, dalam Karno Tanding misalnya, salah satu itu cengkah, gambarnya cengkah saja, meneng, adoh, tapi di bidang sudut sudut ada isi, tengah ada isi, beberapa macam tokohnya Karna semua, berbagai bentuk.
Dan berhubung itu sabet dan gerak wayang, betul-betul bergerak, maka kita membuat kereta itu pedotan, kereta roda sendiri, menggerakkan kuda sendiri, yang naik kereta sendiri, jadi harus kompak pemain wayang itu. Kompak sesama pemain wayang atau dalang, kompak sesama pengisi narator. Jadi perlu kerjasama yang betul-betul perfect, supaya menghasilkan suatu yang bisa memuaskan penonton dan juga memuaskan diri kita sendiri, karena kesenian itu adalah sebagai hiburan pribadi.
Menurut Ki Purbo Asmoro, S.Kar, M.Hum, SANDOSA merupakan sebuah curahan inovasi pakeliran menatap masa depan, bergulir menjangkau waktu. Sebagai wadah ide kreatif, penjaga substansi wayang. Kehadirannya memberi warna baru dan memukau. Yakinlah generasi penerus akan menjagamu.
Menurut Dedek Wahyudi, bahwa istilah SANDOSA telah dikenal di kalangan mayarakat luas terutama kalangan masyarakat seni.
Bagi sebagaian seniman teater, wayang orang, tari, dunia film, telah terinspirasi oleh bentuk sajian Sandosa. Sehingga mereka mengangkat sandosa sebagai bagian dari adegan lakon yang digarapnya.
Sebagai contoh drama wayang Swarga Loka Jakarta, wayang orang, tari, dan sebagainya. Nanang HP menggarap teater dengan lakon wayang, terinspirasi garapan sandosa.
Jurusan pedalangan ISI Surakarta, memberi kebebasan bagi mahasiswa yang menyusun karya lakon sebagai syarat ujian akhir, dapat menyajikan garapan pakeliran Sandosa. Artinya sandosa dewasa ini, telah berkembang sesuai dengan kreativitas seniman masing-masing dalam bentuk ekspresi yang beragam. Sebuah perkembangan yang menggembirakan bagi kehidupan jagad pedalangan.
Menurut ST Wiyono, S.Kar, Pertama, SANDOSA tercipta waktu itu, adalah karya yang baru yang disebut hasil kreativitas seniman. Salah satu ciri kreativitas yang berhasil, adalah Bermanfaat bagi orang banyak, terutama bagi seniman dan apresian atau masyarakat pedalangan khususnya maupun masyarakat luas umumnya. Yang kedua, tidak hanya bermanfaat tetapi diikuti oleh generasi berikutnya. Dan yang ketiga, saya menganggap terciptanya sandosa ketika itu, merupakan sebuah karya kreatif yang berhasil. Artinya bukan sekadar hasil kreatifitas yang asal berbeda. Harapan karya kreatif yang disebut sandosa sasono mulyo tersebut, bisa terus tumbuh, hidup dan berkembang, mengikuti perkembangan jaman yang selalu berubah dengan sangat cepat.
Menurut Ki Johanes Sujani Sabdaleksono, S.Kar, bahwa ide atau gagasan awal terciptanya SANDOSA atau pakeliran berbahasa Indonesia bukan sekedar menterjemahkan lakon berbahasa Jawa menjadi berbahasa Indonesia. Naskah lakon berbahasa Indonesia atau Sandosa, diharapkan mampu memperluas teba rasa hayatan. Melalui proses kreatif garapan lakon secara utuh dan sungguh sungguh, disertai mengangkat dan mengolah kekuatan berbagai perabot pakeliran diantaranya, narasi, dialog, monolog, sabet, suluk, sendon, musik dan lain sebagainya sebagai pendukung laku lakon.
Diharapkan mampu melahirkan sosok lakon yang berkarakter kuat, sekaligus mampu menyampaikan “nilai” sebagai makna dan atau isi pesan lakon.
Nilai merupakan inti pokok tugas mulia seniman dalang dalam menggarap lakon. Dengan disertai kreativias penuh, terbentuknya perjalanan laku lakon berikut konflik yang menyertainya termasuk nilai yang ingin diekspresikan sebagai inti makna lakon dengan harapan mampu menciptakan inspirasi sebagai renungan bagi penghayat, hidup semakin bermartabat, penuh makna, semakin berbudaya, dan berperadaban tinggi sebagai manusia seutuhnya. Dengan demikian pakeliran Sandosa akan memperkaya teba rasa hayatan seni sekaligus melengkapi ragam khasanah pakeliran, khususnya jagad pedalangan pada umumnya, semakin tumbuh dan hidup mengindonesia.