Bandung (majalahagraria.today) – Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surya Tjandra memberi kuliah umum di Universitas Katolik Parahyangan, Kota Bandung, Jumat (28/02/2020). Materi yang disampaikannya dalam kuliah umum ini seputar hukum dan politik dalam gerakan reformasi agraria.
“Kementerian ATR/BPN mempunyai tugas melayani masyarakat, dulu ketika saya ingin mendapatkan layanan di kantor pertanahan (kantah) tidak pernah kepikiran siapa sih pemimpinnya atau menterinya yang saya ingin kantah ini bisa melayani dengan baik,” ungkap Surya Tjandra saat sharing dihadapan kurang lebih 200 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP).
Surya Tjandra melanjutnya ternyata semua layanan akan menjadi bagus atau tidak dalam suatu institusi, tergantung dari siapa pemimpinnya dan bagaimana kepemimpinannya. “Jadi tergantung menteri, wakil menteri, sekretaris jenderal, inspektur jenderal, dan para direktur jenderalnya. Menteri dan wamen kan ditunjuk langsung oleh Presiden Republik Indonesia nah ini dia yang dinamakan politik menjadi bagian penting dalam pekerjaan kami di Kementerian ATR/BPN, bahkan saya pun secara politik dipilih untuk menyelesaikan konflik agraria dan redistribusi tanah,” ujarnya.
Menurut perspektif Surya Tjandra keberadaan politik dalam tatanan pemerintahan khususnya Kementerian itu baik bahkan dibutuhkan. Maka dari itu, seorang pemimpin harus paham tentang politik, karena politik mengajarkan sisi leadership, sensitifitas terhadap masalah masyarakat, hingga penyelesaian konflik agraria.
Kenapa konflik agraria? Misalnya tentang kerumitan yang terjadi ketika nilai atau harga membuat tanah jadi seperti barang yang berharga layaknya emas. Masyarakat percaya bahwa nilai tanah tidak akan turun, bahkan akan naik terus, oleh karena itu banyak masyarakat yang berinvestasi tanah. Masalahnya meskipun tanah komoditas, tanah juga memiliki fungsi sosial, itulah yang menyebabkan terjadi konflik agraria.
“Sekali lagi kita butuh ga cuma pendekatan normatif, hukum, dan teknis tapi barangkali butuh pendekatan politik. Dalam menghadapi konflik agraria, untuk mencari solusi biasanya kita lihat ada tidak dasar hukumnya tapi untuk betul-betul menyelesaikan permasalahannya harus dilakukan dialog politik. Saya menyadari konflik itu sebagai legal foundation yang kalau langsung dan menggunakan dasar hukum saja tidak cukup, karena konflik itu ada unsur sosial, kultural, politik,” ujar Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN.
Politik menghadirkan hal-hal penting bagi masyarakat ke dalam keputusan-keputusan teknokratik yang dikerjakan oleh kementerian/lembaga, politik itu penting dalam suatu institusi supaya hal-hal yang dianggap sepele dalam pekerjaan rutin seperti di Kementerian ATR/BPN bisa jadi penting. (NA/JR/RH/RE)