Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) merupakan rancangan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dengan sistem omnibus law. RUU ini ditunjang oleh 11 (sebelas) klaster salah satunya adalah klaster pertanahan, yang menjadi dasar kepentingan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Semangat disusunnya RUU Ciptaker adalah menciptakan kemudahan investasi yang berdampak pada terciptanya lapangan kerja, sehingga berimbas pada peningkatan kemakmuran masyarakat.
Dalam klaster pertanahan, Kementerian ATR/BPN mengenalkan konsep pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di atas Hak Pengelolaan (HPL) dengan jangka waktu 90 tahun. “Pemberian HGU di atas HPL dapat memperkecil potensi terjadinya konflik pertanahan khususnya perambahan areal HGU yang telah berakhir hanya waktunya karena statusnya kembali menjadi HPL atas nama subjek tertentu,” kata Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Landreform dan Hak Masyarakat Atas Tanah, Andi Tenrisau dalam Diskusi _Online_ dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sabtu (13/06/2020).
Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Landreform dan Hak Masyarakat Atas Tanah tersebut juga mengatakan konflik pertanahan yang berkembang terjadi di tanah yang status HGU-nya belum sempat diperpanjang sehingga statusnya adalah tanah negara yang oleh sebagian masyarakat dianggap dapat diokupasi oleh pihak lain. “Jika di atas HPL dengan jangka waktu 90 tahun, nantinya akan memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak. Selain itu juga dapat memperpendek jalur birokrasi di bidang pelayanan pertanahan, tidak lagi diperlukan pemberian pertama kali, perpanjangan dan pembaruan, sehingga lebih efisien,” katanya.
Perusahaan sawit saat ini konsisten membantu pemerintah menyeimbangkan neraca perdagangan. Demikian menurut Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono. Namun, menurut Ketua GAPKI saat ini banyak konflik pertanahan antara perusahaan sawit dengan oknum masyarakat terkait HGU. “Jika HGU diberikan di atas HPL dengan jangka waktu 90 tahun, kami menyambut baik, selama jelas administrasinya. Karena para pengusaha membutuhkan kepastian, yang selama ini tidak terjadi. Pengusaha perkebunan sawit tidak hanya meng- handle business risk tapi juga _social risk_,” keluh Joko Supriyono.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga turut angkat bicara seputar RUU Ciptaker, khususnya pemberian HGU di atas HPL. Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan mengingatkan agar dapat memahami Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebelum membahas hal tersebut. “Kita harus memahami UUPA. Di sana sudah jelas mengatur aspek pertanahan kita. Hadirnya HGU di atas HPL dengan jangka waktu 90 tahun ini juga jangan menimbulkan potensi ketimpangan kesejahteraan sosial,” kata Arteria Dahlan, yang juga anggota Panitia Kerja RUU Ciptaker.
Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA merupakan organisasi masyarakat yang cukup kritis terhadap kebijakan di sektor pertanahan khususnya Reforma Agraria. Melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen), Dewi Kartika, KPA menganggap bahwa HGU di atas HPL dapat menciptakan kontroversi ke depannya, sehingga perlu dikaji kembali. “Setiap produk hukum terkait agraria ke depan, diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial, keberlanjutan hidup, kepastian hukum dan kemakmuran rakyat, sekaligus menerjemahkan kedaulatan bangsa Indonesia atas wilayahnya,” ujarnya.
Praktisi Agraria, sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UGM Maria Sumardjono menyarankan agar pemberian HGU tidak diberikan sekaligus, melainkan kumulatif, sesuai dengan UUPA. “Selain itu perlu dilakukan evaluasi, apakah memenuhi persyaratan untuk dapat diperpanjang atau diperbaharui,” kata Guru Besar FH UGM.
Diskusi _Online_ ini diikuti dengan peserta terbatas, yakni 100 orang dengan tema “Menyoal Jangka Waktu HGU 90 Tahun Dalam RUU Cipta Kerja” dengan menghadirkan narasumber Staf Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah, Andi Tenrisau, Ketua GAPKI, Joko Supriyono, Sekjen KPA, Dewi Kartika, Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan serta Guru Besar FH UGM, Maria Sumarsono. (RH/LS/RE)
#MaskerUntukSemua
#jagajarak
#BERSATU🇮🇩TANGGUH…BERSATU🇮🇩SEMBUH
#tidakmudik