“Ketika ekonomi bertumbuh di Rio De Janeiro dan Santos, wilayah pedalaman dan Amazon tertinggal dibandingkan wilayah pantai. Upaya pemindahan ibu kota ke wilayah Amazon bisa dibaca sebagai upaya pemerataan pembangunan. Brasilia tidak hanya pusat pemerintahan, tetapi menjadi pusat kegiatan ekonomi bagi wilayah sekitarnya. Meski wilayah Amazon masih kalah dibandingkan wilayah pantai, tapi ketimpangan bisa diatasi. Untuk itu, kita juga berupaya meratakan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan pendapatan dan ekonomi ini yang harus kita atasi. Paling tidak, kita dapat mengurangi ketimpangan tersebut,” jelas Menteri Bambang.

Tidak hanya pemerataan ekonomi, pemindahan ibu kota ke Brasilia juga bertujuan untuk meratakan sebaran penduduk Brasil. Sepuluh tahun awal pasca pemindahan ibu kota negara, pertumbuhan penduduk Brasilia mencapai 14,4 persen per tahun dibandingkan Rio de Janeiro yang hanya 4,2 persen per tahun.

“Terkait pemindahan ibu kota Brasil ke Brasilia, ide awalnya adalah untuk menyebarkan populasi masyarakat Brasil agar menjadi lebih imbang. Sebagai ukuran sukses pemindahan ibu kota, saat ini, Brasilia memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Brasil. Brasilia juga berjasa bagi penyebaran agribisnis karena peran sentralnya sebagai kota di tengah-tengah negara Brasil,” jelas Duta Besar Brasil untuk Indonesia Rubem Barbosa.

Tidak ada kerugian ekonomi yang dialami Rio de Janeiro akibat pemindahan ibu kota, sedangkan Brasilia mengalami dampak positif yang signifikan.

Baca juga  Tata Ruang Harus Jadi Acuan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Palu dan Sekitarnya

“Sekarang Brasilia sudah luar bisa berkembang, dampaknya adalah perkembangan kota-kota satelit di sekitarnya. Ada sekitar dua puluh kota kecil yang tumbuh industrinya, pariwisatanya. Dua puluh kota kecil tersebut menjadi pusat industri baru, perdagangan, dan pariwisata,” kata Duta Besar LBPP RI untuk Brasil 2010-2015 Sudaryomo Hartosudarmo.

Dalam Dialog Nasional II: Pemindahan Ibu Kota Negara pada Rabu (26/6) lalu, Menteri Bambang menjelaskan efek pengganda ekonomi atas pemindahan ibu kota Brasil, utamanya output multiplier, tercatat sebesar 2,93. Artinya, setiap BRL 1 penambahan investasi akan menambah output sebesar BRL 2,93. Sementara, employment multiplier akibat pemindahan ibu kota ke Brasilia sebesar 1,7 terhadap pekerjaan swasta yang tercipta dari setiap penambahan pekerjaan di sektor publik.

Terkait isu lingkungan, Menteri Bambang menekankan pembangunan ibu kota baru justru mendorong reforestrasi di Kalimantan. “Pembangunan ibu kota baru tidak akan mengurangi luas hutan lindung. Pada saat membangun ibu kota kita harus melakukan reforestrasi, konsep kotanya juga kota hijau sehingga hutan akan terjaga. Kalau ada kemungkinan abuse oleh investor, kita sebagai regulator harus keras. Untuk membuat kota ini terbuka, kota ini inklusif siapa saja boleh tinggal. Di sinilah kita melihat bahwa barangkali kota ini bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi bagi Kalimantan,” jelas beliau.

Baca juga  BJ Habibie wafat, Bupati Bogor kibarkan bendera setengah tiang

Selain memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan, Menteri Bambang juga menjelaskan beberapa cara yang tengah dilakukan Pemerintah untuk membangun pusat pertumbuhan baru, meningkatkan pemerataan pembangunan, serta mengurangi ketimpangan.

Pertama, industrialisasi di luar Jawa dalam bentuk hilirisasi hasil tambang dan perkebunan, baik Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kedua, mengembangkan berbagai kawasan ekonomi, baik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri, dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Ketiga, mengembangkan enam wilayah metropolitan di luar Jawa, antara lain Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Manado, dan Denpasar.