Bulan Maret 2020 – disebuah café di Bali, empat anak muda menyeruput kopi dengan bersenjata laptop lengkap, berdebat dengan sangat serunya. Mereka mencoba merumuskan langkah strategis dan terobosan andaikata pandemi covid 19 melebar di Indonesia. Rumusan dan kesimpulan akhir mereka adalah “Inovasi”.
Saya hanya senyum-senyum saja mendengarnya. Bagi anda mungkin terdengar agak klise dan membosankan. “Kalau sudah susah, baru deh kita mikir inovasi !”, begitu celetuk seorang anak muda yang tadi ngopi di Café. Percaya atau tidak seringkali inovasi datang terlambat. Persis seperti celetukan anak muda tadi.
Banyak orang berpikir bahwa inovasi itu harus sesuatu yang baru, yang dahsyat dan spektakuler. Harus memiliki perbedaan besar. Sehingga heboh dan menimbulkan pujian dan kebanggaan. Padahal tidak demikian kenyataan-nya. Ketika kuliah, saya pernah bertanya kepada seorang dosen, apa sih “inovasi” itu ? Dia hanya mengatakan secara sederhana “inovasi” itu adalah – “ perbaikan yang memberikan nilai tambah”. Masalahnya seringkali dalam dunia komersil dan bisnis, kita selalu mengukur dan menilai besaran “nilai tambah” itu. Kalau kecil kita tidak terpukau dan kagum. Akhirnya “inovasi” itu kita remehkan. Itu sebabnya “inovasi” terbelenggu oleh sebuah batasan, bahwa ia harus baru, harus revolusioner, dan harus spektakuler.
30 tahun saya menjadi konsultan dan inkubator “inovasi” bagi berbagai perusahaan di Indonesia dan juga secara global – akhirnya kita merumuskan sebuah proses “inovasi” yang paling mudah dipraktekan. “Inovasi” selalu berawal dari sebuah ide. Tentu saja ide yang memiliki nilai tinggi, yang memiliki efek solusi dan yang paling penting – mudah dipraktekan dan tidak menuntut biaya tinggi. Kalau bisa memakai tekhnologi yang sederhana dan mudah di aplikasikan. Nah, ini yang sering jadi salah tafsir. Misalnya banyak diantara kita yang menganggap bahwa “Inovasi” dalam tatanan ekonomi – “The New Normal” adalah “Go On Line” alias menjual produk anda di Internet. Walaupun dalam hal ini ada kearifan yang benar, namun sejujurnya tidak semuanya benar.
Sebagai contoh, seorang teman dari Jepang belum lama ini bercerita kepada saya, tentang sebuah “Inovasi” bisnis yang sangat sederhana. Menurut dia banyak masakan yang memiliki kunci yaitu di kuahnya. Misalnya aneka kuliner soto di Indonesia. Atau di Jepang kasusnya aneka ramen. Semuanya mengandalkan kuah yang benar-benar lezat. Memasak kuah yang lezat tidak sulit. Hanya saja butuh kesabaran dan waktu yang cukup lama. Dan kalau anda membuat kuah dari 1kg tulang ayam dan 10 kg tulang ayam, rasanya akan sangat berbeda. Bagaikan bumi dan langit. Berbagai penjaja soto dan sup buntut di Indonesia, tau betul tentang rahasia ini. Ini persaingan yang sesungguhnya. Jadi seorang pengusaha ramen di Jepang mendirikan perusahaan yang khusus menjual kuah ramen. Kliennya adalah warung-warung ramen yang kecil-kecil sekali. Dimana mereka tidak lagi harus memasak dan membuat kuah ramen, tapi cukup membeli kuah yang sudah jadi. Sehingga menjadi sangat praktis sekali. Tinggal memanaskan kuah, masuk-kan ramen, dan langsung jadi. Bisnisnya laris bukan main !
Bayangkan kalau perusahaan ini beroperasi di Indonesia. Misalnya mereka menjual kuah untuk memasak mie instant. Pasti penjualan mie instant akan naik luar biasa. Atau mereka menjual kuah sop-buntut, kuah rawon, dan kuah soto-mie yang lezat. Kita tinggal merebus buntut, iga sapi dan mie, masukan kedalam kuah, jadilah hidangan yang lezat. Ini ide yang sangat brilyan.
Pilar kedua dalam rumusan “Inovasi” pengalaman saya, adalah “Imajinasi”. Dalam kasus ini – menentukan kuah apa yang akan kita produksi dan cara-cara distribusi yang paling murah, adalah langkah “Imajinasi” yang strategis dan menentukan. Seorang ekonom pernah mengatakan kepada saya, “Jangan takut ide kamu di jiplak oleh orang lain ! Semua orang bisa mendapatkan ide yang sama, dan memikirkan ide yang sama. Namun Imajinasi adalah kuncinya. Tidak semua orang bisa memiliki imajinasi yang sama.” Saya sangat setuju dengan komentar ini. Inovasi yang berhasil sangat membutuhkan Imajinasi yang brilyan.
Di saat pandemi covid 19, berbagai gerai waralaba juga bersaing ketat untuk menciptakan berbagai inovasi. Misalnya waralaba “Tawan” dan Pizza Hut melakukan inovasi sederhana. Mereka melakukan strategi menjemput bola, dengan menjual nasi kotak dan pizza dengan cara mengasong di jalan-jalan.
Ada juga yang menciptakan produk-produk baru yang lebih Indonesiana – seperti McD yang membuat menu nasi uduk. Atau Texa Fried Chicken yang membuat ayam goreng kremes dengan sambal matah. Dan KFC yang membuat camilan kue pukis. Bisa anda lihat dalam kasus ini, ide yang dilontarkan bisa sangat sederhana sekali. Tidak harus luar biasa spektakuler-nya ! Namun untuk mengesekusinya secara komersil jelas dibutuhkan imajinasi.
Belum lama ini, gerai waralaba – KFC menciptakan gerai premiumnya. Namanya Naughty by Nature. Idenya sederhana yaitu memanfaatkan penggemar KFC di Indonesia yang sangat banyak. Konon KFC telah memiliki gerai sejumlah 714 cabang di seluruh Indonesia. Di wilayah Senopati – Jakarta Selatan – yang dikenal dengan “ food street of Jakarta “ karena berisikan berbagai restoran terkenal dan merupakan “hot-spot” wisata kuliner Jakarta, KFC membuka cabang terbarunya yang ditargetkan untuk konsumen premium. Tempatnya bagus dan mewah untuk waralaba gerai restoran cepat saji. Namun menunya dibuat sedemikian imajinatif, dimana ayam goreng KFC yang populer, kini disajikan misalnya dengan berbagai makanan pedamping yang lebih nge-trend dan lebih sehat. Seperti misalnya Ceasar Salad. Menunya di tata mengikuti alur bergaya café dengan tambahan makanan populer lainnya seperti pasta dan juga beberapa menu vegan. Jadi mengikuti selera millenials banget. Tak heran apabila ketika buka, rame banget dan kena disegel. Maklum jaman pandemi covid 19. Tapi jelas-jelas bikin orang semakin penasaran. Jadi buat imajinasi KFC patut diberikan acungan jempol.
Jadi menurut saya rumus Inovasi = Ide + Imajinasi. Inilah rumus yang manjur bin ajaib. Ketika pandemi covid 19 mulai merebak, banyak pengusaha berusaha menjual aneka produk secara on-line. Salah satu ide yang cemerlang saat itu adalah menjual kopi literan. Produk ini sempat viral. Idenya juga sederhana kopi ditambah susu dan gula aren. Hampir semua pengusaha café bisa membuatnya. Dan produk ini bukan lagi viral tetapi sampai meluber kemana-mana. Persaingan mulai ketat, dan hampir semuanya banting harga. Tak lama kemudian produk ini mulai redup dan mati secara perlahan-lahan. Seorang teman memberikan celetukan, bahwa semua melakukan yang sama, tanpa rangsangan imajinasi. Konsumen akhirnya mati rasa, lumpuh kehilangan rasa penasarannya. Harga murah tidak lagi menjadi magnet yang merangsang minat kita untuk membeli.
Kasus diatas menunjukan bahwa imajinasi pegang peranan vital. Tanpa imajinasi yang pas, biar bagaimanapun canggihnya ide anda, maka inovasi yang kita tuju tidak akan tercapai. Sederhana memang rumusnya, tapi imajinasi adalah anugerah yang sangat langka. Sentuhan ajaib yang membuat satu ide sederhana menjadi inovasi yang menguntungkan. Ingatlah selalu rumus Inovasi = Ide + Imajinasi !