Saya merasa beruntung bisa banyak belajar tentang mempraktekkan akhlak Islam dari seorang Buya Ahmad Syafii Maarif.
Beliau bukan hanya seorang pribadi yang bersahaja, namun juga senantiasa berusaha untuk secara konsisten (istiqamah) menautkan antara keyakinan dan ucapannya dengan laku “lampah”nya.
Akhlak di tangan Buya, bukan hanya sekedar hiasan di bibir, tapi dengan upaya yang konsisten beliau terus upayakan untuk diwujudkan dalam perbuatan dan kehidupan sehari-hari.
Beliau teguh memegang agar tidak sampai terjadi pecah kongsi antara kata dan laku.
Melalui foto ini, hari ini saya dapat informasi dari keponakan beliau Bung Asmul Khairi , bahwa beliau telah dipertemukan dengan orang yang telah menghujat dan menghinanya untuk sebuah tujuan mulia: memaafkan orang tersebut.
Ceritanya, beberapa bulan yang lalu ada seorang menggunakan sebuah akun Facebook menghardik dan mencaci maki Buya, dengan “doa-doa buruk” yang sangat tak pantas untuk diutarakan oleh seseorang terhadap diri Buya.
Tentu Buya seperti biasa tidak pernah menggubris berbagai cacian yang menerpa dirinya. Laku sabar adalah bagian yang tak terpisahkan dari lelaki sepuh yang sudah berusia 84 tahun 3 bulan ini.
Namun banyak kolega dan anak-anak ideologis beliau yang merasa “gerah” atas perlakukan orang terhadap mantan tokoh puncak Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Dan kasus seperti ini bukanlah sebuah kasus yang pertama.
Akhirnya beberapa minggu yang lalu, dibawah koordinasi mas Ihsan Tanjung, akun atas nama ini dilaporkan ke direktorat Siber Mabes Polri. Setelah ditelusuri, diketahui bahwa pemilik akun yang telah menghina Buya ini adalah seorang paruh baya, pensiunan sebuah perusahaan, usianya tidak muda lagi, dan tinggal di Jakarta.
Tidak ada alasan yang jelas mengapa dia telah begitu gamblangnya memperlihatkan “kebencian” terhadap sosok Buya Ahmad Syafii Maarif melalui cacian di akun medsosnya. Alasan yang keluar hanyalah sebuah keisengan ketika ia melakukan perbuatan tercela tersebut.
Hari ini Buya membalas cacian itu dengan sebuah permaafan. Ya, memaafkan orang yang telah mencacinya, memaafkan cacian yang telah dilemparkan kepadanya. Membalas cacian dengan rangkulan. Membalas cacian dengan kasih sayang.
Semua ini tak lain karena beliau adalah seorang yang otentik dalam kemerdekaan dirinya. Kemerdekaan diri yang ditopang secara kokoh oleh akar spiritualitas yang tak tergoyahkan. Agama atau spiritualitas yang betul-betul beliau hidupi dan tegakkan secara konsisten.
Karena beliau seringkali mengingatkan, bahwa kemuliaan agama (Islam) yang terkandung dalam kitab suci harus diwujudkan dalam kehidupan untuk mengangkat martabat manusia dan kemanusiaan, bukan untuk menghinakan dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Buya adalah sebuah instansiasi “moralitas yang hidup” tentang kasih sayang dan akhlak yang terpuji. Panutan dan teladan bagi saya dan kita semua. Pada orang-orang seperti inilah sudah sepatutnya bangsa ini bercermin dan “berkiblat”.