Pristiwa Duren Tiga dengan “Aktor FS” Setelah 1 bulan berlalu, episode pengungkapan Pristiwa yang hilangnya nyawa Brigadir J, satu persatu mulai terkuak, penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) Hendardi setara Institut memberikan tanggapan, Secara umum penetapan status Tersangka (TSK) untuk FS serta beberapa personil lain dan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik oleh Tim Khusus bentukan Kapolri bisa dikatakan telah mengesankan penegakan hukum yang lebih tegas dan tidak pandang bulu di dalam tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun penerapan status TSK maupun dugaan pelanggaran kode etik terhadap puluhan personil baik dari Polres Jaksel, Polda Metro Jaya (PMJ) maupun Mabes Polri mesti benar-benar fair, akuntabel dan terbuka dalam prosesnya. Hal ini penting untuk memastikan tidak terjadinya demoralisasi terhadap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya Hendardi menyampaikan, untuk anggota yang diduga melanggar etik tentu dapat dijerat pidana apabila dapat dibuktikan yang bersangkutan memang terkait langsung dengan peristiwa pidananya atau turut serta membantu tindak pidana. Namun penetapan jerat pidana tersebut mesti dilakukan secara berhati-hati, dan bertanggung jawab serta harus cukup terbuka tentang tindak pidana apa yang dilakukan yang bersangkutan. Banyak dari anggota yang sebenarnya hanyalah korban skenario di awal kasus ini muncul.
Melihat cukup banyak personil Polri yang diperiksa berkaitan dengan pelanggaran etik dan pidana, sangat penting dipertimbangkan tentang kondisi mental dan moral anggota serta kewibawaan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dugaan sangkaan atau menyatakan ketidak profesionalan anggota mesti dengan pertimbangan matang menyangkut apakah seluruh personil dalam 3 jenjang proses penyelidikan dan penyidikan di mulai di Polres Jakarta Selatan, lalu Polda Metro Jaya (PMJ), maupun terakhir di Bareskrim Mabes Polri memiliki dasar fakta-fakta awal yang sama dan transparan untuk dianalisis. Juga kecenderungan penerapan dugaan dan sanksi etik ini secara tidak transparan Komunikasi Publik yang baik kepada Masyarakat untuk menghindari pelbagai isu kecurigaan, prasangka, salah paham, salah asumsi, salah tafsir, yang seluruhnya berakhir pada salah simpul, sangat rentan pada era teknologi informasi yang semakin tak terbendung saat ini.
Ketua SETARA Institute Hendardi, mengharapkan seyogyanya setiap proses pemeriksaan baik hukum maupun etik dapat diinfokan secara bertahap dan terbuka untuk menghindari prasangka-prasangka ditengah masyarakat dan menunjukkan proses yang akuntabel. Termasuk di dalamnya melibatkan Kompolnas dalam pengawasan proses sesuai kewenangannya sebagaimana bunyi Pasal 9 ayat g dan f Perpres 17 tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.
Jakarta 15 Agustus 2022