Tigor mencontohkan Papua tidak bisa mengirim banyak atletnya karena dana yang terbatas. Dari rencana 106 atlet, yang bertanding di Kejurnas kurang dari 50 persennya. Namun, ia tidak menyebutkan berapa jumlahnya.
Tak hanya Papua, masalah serupa juga dialami oleh daerah-daerah lainnya. Kurang populernya atletik di daerah dianggap menjadi salah satu alasan kucuran dana APBD untuk atletik terbatas.
“Karena mungkin di mereka atletik tidak populer sehingga tunjangan di daerahnya gak sebesar olahraga yang populer,” kata dia menambahkan.
Menurutnya, atlet cabang atletik di Indonesia masih didominasi oleh beberapa daerah yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kondisi ini yang membuat persaingan hanya terjadi antara atlet pulau Jawa dan NTB. Padahal ia meyakini apabila dukungan daerah bagi cabang atletik besar, maka potensi yang sebelumnya belum terlihat bisa lebih maksimalkan.
“Itu sudah kita bayangkan juga sebelumnya. Jadi kita harus cari gimana supaya kompetisi ini bisa diikuti oleh provinsi sebanyak mungkin,” kata dia.
Faktor lain yang membuat atlet di daerah selain lima daerah tadi sulit bersaing karena kurang optimalnya Pemprov dalam menjalankan roda manajemen organisasi.
“Keberhasilan pembinaan atlet di Jatim, Jateng, Jabar, dan NTB itu bukan hasil pekerjaan datu sampai dua tahun, itu belasan tahun yang lalu. Sehingga hasilnya sekarang bisa dipetiknya, ga ada yang instan,” kata dia.
Adapun jumlah atlet yang ikut dalam Kejurnas mencapai 1.071 peserta dari 34 provinsi terdiri dari 332 atlet putra dan putri U-18, 282 atlet putra dan putri U-20, dan 457 atlet putra dan putri senior.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Bayu Kuncahyo
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Artikel ini pertama kali tayang di Antaranews.com