“Di internal kita sendiri termasuk makin mampu mengelola orang asing yang ingin bekerja sama dengan kita, dengan catatan menguntungkan bangsa kita. Jangan apa-apa, belum-belum sudah antek asing, antek aseng, itu namanya emosi keagamaan,” kata Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu.
Presiden menyampaikan hal tersebut dalam Forum Titik Temu: Kerja sama Multikultural untuk Persatuan dan Keadilan yang diselenggarakan oleh Nurcholis Madjid Society, jaringan Gusdurian dan Maarif Institute.
Acara tersebut juga dihadiri Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno, Ibu Negara Indonesia keempat Sinta Nuriyah Wahid, cendekiawan muslim Quraish Shihab, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan tokoh-tokoh lainnya.
“Sejalan dewasanya usia bangsa kita, kita dewasa dalam berbhineka tunggal ika, terbuka dalam mempercepat kemajuan negara kita dan makin mampu mengelola perbedaan,” kata Presiden.
Presiden pun menggarisbawahi salah satu hal yang disampaikan oleh Quraish Shihab.
“Saya garis bawahi satu yang disampaikan Pak Quraish Shihab, emosi keagamaan dan cinta keagamaan. Emosi keagamaan dikurangi atau dihilangkan kemudian yang dikuatkan, yang ditingkatkan cinta keagamaan, saya setuju,” ungkap Presiden.
Quraish Shihab dalam sambutannya mengatakan ada sejumlah hambatan dalam persaudaraan, yaitu emosi keagamaan yang meluap-luap karena kurangnya pengetahuan agama. Emosi itu seharusnya dialihkan menjadi cinta karena mereka yang mencintai Tuhan tidak akan cepat marah.
“Sejalan dewasanya usia bangsa kita, kita dewasa dalam berbhineka tunggal ika, terbuka dalam mempercepat kemajuan negara kita dan makin mampu mengelola perbedaan,” kata Presiden.
Presiden mencontohkan kondisi Uni Emirat Arab dari cerita Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan.
“Saya dapatkan langsung dari Sheikh Mohamed bahkan tahun ini di sana menyebut sebagai tahun toleransi. Mereka mengundang talenta-talenta top dunia, CEO dan tenaga ahli, mengundang perguruan puluhan tinggi ternama di dunia, rektor tenaga asing,” katanya.
“Di sini, baru ide gagasan saya bicara ada 4.700 akademi, politeknik, universitas, perguruan tinggi, bagaimana kalau kita pakai tiga universitas kita atau politeknik atau akademi pakai rektor asing, baru bicara seperti itu sudah langsung dikatakan Presiden Jokowi antek asing,” ungkap Presiden.
Hal itu, menurut Presiden, bukan bagian dari cinta keagamaan.
“Kita bisa menyaksikan kemajuan negara-negara di Amerika mengelola keberagamaan itu dan satu tahun ini. Kita lihat kemajemukan di Timur Tengah, di UEA, 40 tahun lalu UEA merupakan negara tertinggal, pendapatan rendah, tertutup” kata Presiden.
Namun sekarang “income” per kapita 43 ribu dolar AS. “Sheikh Muhammad ke saya, tahun 1970an dari Dubai ke Abu Dhabi masih naik unta, Indonesia sudah naik Holden dan Impala tapi mereka meloncat begitu cepatnya,” kata Presiden.
Menurut Presiden, “soverign wealth fund” UEA mencapai 700 miliar dolar AS dan menduduki peringkat ke-3 besar dunia.
“UEA menjadi ikon kemajuan dunia dengan kota termodern dan terindah kemajuan di dunia apa kuncinya? Apakah SDA? Saya yakin bukan yang utama dan SDA Indonesia lebih kaya dibanding UEA, mereka punya minyak, kita juga punya, kita punya hutan dan kayu, tambang mineral batubara, lahan subur. Menurut saya salah satu kunci utamanya keterbukaan dan toleransi,” tegas Presiden.
Presiden menilai bahwa isu kemajemukan bukan hanya isu sosial dan politik tapi penerimaan kemajemukan juga menjadi isu pembangunan ekonomi.
Tanpa penerimaan kemajemukan, anggota warga dengan latar belakang berbeda maka masyarakat tersebut akan jadi masyarakat tertutup dan tidak berkembang.
“Mari kembalikan ke semangat berdirinya negara ini yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang mampu mengelola kemajemukan di internal bangsa kita yang mampu menjadi teladan merawat toleransi dan persatuan dan berani terbuka untuk kemajuan bangsa,” kata Presiden Jokowi.
Artikel ini dikutip dari Antaranews.com