Ketika kuliah di Sydney, saya pernah punya pacar yang senang sekali melukis. Kencan kami seringkali dilakukan di galeri sekalian nonton lukisan dan atau pameran lukisan yang kebetulan sedang berlangsung. Saya belajar apresiasi lukisan justru dari beliau. Dan ruangan galeri dan lapang, lega dan sunyi seringkali memberikan sebuah ketenangan dan kenyamanan tersendiri. Sebuah kenyamanan emosi yang sering saya rindukan.

Setelah mulai bekerja di Jakarta, sesekali saya mulai belajar berburu barang seni atau benda seni. Kebetulan saya tidak berburu berdasarkan merek dari penciptanya. Maklum saya tidak punya bujet besar, jadi lebih berdasarkan insting saja, kalau ada benda sendi seperti lukisan, patung atau apapun yang saya anggap bagus dan cocok dengan selera saya, biasanya saya beli. Bukan untuk dijual lagi, tapi lebih untuk memuaskan sebuah dahaga. Petualangan yang cukup seru juga sebenarnya. Hampir 10 tahun yang lalu di Yogya saya membeli sebuah lukisan yang harganya cukup murah. Belum lama ini lukisan itu ditawar 200 juta lebih oleh seorang teman kolektor lukisan. Bahagia sekali saya.

Tapi barangkali disitulah letak daya tarik sebuah benda seni seperti lukisan. Berlainan dengan benda kapital lainnya seperti mobil misalnya yang mengalami depresiasi nilai sesuai dengan kurun waktu. Benda seni seperti lukisan, patung dsbnya, justru terbalik karena seringkali mengalami apresiasi nilai setelah sekian lama kita koleksi. Uniknya nilai apresiasi ini tidak terukur berdasarkan sebuah rumus tertentu. Dan dikendalikan oleh sekian banyak faktor yang sangat unik dan istimewa.

Indonesia memiliki peluang yang sangat unik, untuk menjadikan seni sebagai sebuah kekuatan dan potensi ekonomi yang sangat dahsyat. Dengan keragaman budaya yang sangat kaya, Indonesia berabad-abad telah menjadi pusat seni yang unik di Asia dan dunia dengan potensi ekonomi yang patut kita perhitungkan. Misalnya saja di dunia seni lukis kita memiliki sejumlah maestro yang merupakan orang Indonesia asli dan juga pelukis pendatang, yang jatuh cinta dengan Indonesia dan akhirnya menetap di Indonesia. Seorang teman kolektor mengatakan kepada saya, bahwa fakta diatas membuktikan juga betapa indahnya Indonesia, sehingga para pelukis itu memiliki sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya. Sekaligus memberikan mereka kesempatan untuk pada mereka mengembangkan gaya lukis tertentu yang sangat khas.

Baca juga  Ekonomi Inovasi – Canda Bisnis ala Kafi Kurnia

Pada tahun 2018, sebuah lukisan karya Raden Saleh yang ditemukan disebuah rumah keturunan seorang diplomat di Perancis, berhasil dilelang dan memecahkan rekor harga sebesar Rp. 120 milyar. Ini adalah harga termahal dari sebuah lukisan karya maestro Indonesia. Konon lukisan ini adalah pesanan Jules Stanislas Sigisbert Cézard, seorang keturunan pedagang kopi dan gula di Batavia. Selain Raden Saleh, pelukis maestro Indonesia yang lain seperti S. Sudjojono, Lee Man Fong, dan Hendra Gunawan, pernah juga mencatatkan rekor harga lelang lukisan mereka yang berkisar antara Rp. 60 milyar hingga Rp. 85 milyar.

Yang menarik adalah benda seni seperti lukisan saat ini, tidak melulu harus karya-karya lawas yang bernilai tinggi. Banyak karya-karya lukisan kontemporer dan moderen telah merambah ke medium dan gaya tersendiri. Misalnya saja karya-karya jalanan alias grafiti, yang dulunya dianggap sebuah polusi terhadap sebuah kota, kini sangat ramai diburu orang. Karya artis grafiti seperti Banksy, K. Harring dan Jean-Michel Basquiat harganya sudah terbilang menggila. Tahun 2019 artis seni jalanan Banksy dari Inggris melelang karyanya yang berjudul Parlemen yang isinya para kera berhasil laku di palu lelang sebesar Rp. 168 milyar. Di Indonesia banyak artis grafiti yang karyanya mulai juga diburu orang. Seperti SlinAt di Bali, Eko Nugroho, dan Darbotz yang mulai populer karena mural dan interior karya mereka.

Benda seni super mahal seperti lukisan-lukisan ini bukan saja diminati oleh para super milyader yang kaya raya, tapi juga museum-museum terkenal dunia sebagai bagian atraksi super keren mereka. Cerita spektakuler lain, adalah lukisan Leonardo Da Vinci yang ditemukan dan direstorasi, yaitu “Salvator Mundi” terjual di palu lelang lebih dari $450 juta, karena konon dibeli milyader Arab untuk di jadikan atraksi utama di Museum Louvre di Abu Dhabi. Walaupun hingga kini, lukisan itu belum juga dipajang di museum itu. Dan lokasi terakhirnya masih tetap misterius hingga saat ini.

Teknologi berperan ikut memajukan ekonomi seni ini. Juga memberikan kontribusi unik dan istimewa ke sektor ekonomi yang lain. Ketika Dan Brown menulis novel “The Da Vinci code” yang sangat terkenal ini, dan novel larisnya dijadikan film, turis berbondong-bondong ke museum Lovre di Paris untuk kembali menyaksikan lukisan Monalisa yang merupakan salah satu pokok cerita di film itu. Museum Lovre di Paris menjual bermacam-macam cindera mata dengan lukisan Monalisa berkat tekhnologi digital. Artis Eko Nugroho misalnya banyak membuat merchandise dari kaos, tas, hingga mainan. Teguh Ostenrik belum lama ini membuat masker dari corak-corak lukisan-nya.

Baca juga  Ekonomi Tempe – Canda Bisnis ala Kafi Kurnia

Sama seperti produk lain, ekonomi seni juga membutuhkan aktifitas pemasaran yang bukan saja efektif tapi juga harus konsisten dan agresif bersamaan. Saat ini Indonesia sudah memiliki kalender pameran besar yang cukup terkenal seperti Art Jakarta dan Art Jog. Disamping itu ada juga pasar seni besar tahunan seperti Art Moments, yang konon pengunjungnya bisa ribuan dan transaksi komersilnya bisa ribuan. Disamping kegiatan pemasaran, ekonomi seni ini juga harus memiliki infrastruktur yang memadai. Kini sudah cukup banyak pihak swasta yang membuat investasi serius mendirikan galeri yang yang nyaman, dan juga museum seni. Barangkali kita harus memberdayakan kembali ide almarhum Gubernur Ali Sadikin dengan memasyarakatkan seni lewat pasar seni.

Tahun 2019, dalam sebuah survey, disebutkan bahwa kontribusi ekonomi seni di Amerika memiliki nilai lebih dari $ 760 milyar, dan kontribusinya terhadap GDP lebih dari 4% dan mengalahkan pertanian. Luar biasa bukan ? Tenaga kerja dibidang ini hampir 5 juta orang pada tahun 2015. Indonesia dengan segudang artis dan maestronya juga memiliki peluang yang sama. Setidaknya di Asia, daya saing ekonomi seni Indonesia, sangat kuat dan bisa menjadi lokomotif yang berdaya dorong besar !

 

#SiapUntukSelamat
#BersatuLawanCovid19
#CuciTangan
#JagaJarak
#MaskerUntukSemua
#TidakMudik
#DiRumahAja